Sejarah Bogor (26): Sejarah Tpb Ipb Dan Mahasiswa Tingkat Keragaman Tinggi; Lulus, Bagai 'Air Mangalir Hingga Jauh'


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disin

Di Institut Pertanian Bogor (IPB) tempo dulu sangat dikenal dengan TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Program pendidikan TPB ini kini disebut Program Pendidikan Kompetensi Umum (PPKU). Setiap mahasiswa IPB harus memulainya dari TPB, suatu agenda pendidikan tahun pertama sebagai persiapan untuk memasuki fakultas. Kurikulum pendidikan pada TPB ini bersifat bersama, semua mahasiswa harus mengambil mata kuliah yang seragam. Karena itulah nama agenda pendidikan IPB tersebut disebut Tingkat Persiapan Bersama, suatu agenda pendidikan yang sanggup dianggap sebagai ‘hub’ antara pendidikan pasca Sekolah Menengan Atas (juruan IPA) dan pendidikan pra-universitas (fakultas).

Kantor TPB-IPB dan mahassiwa (1983)
Program pendidikan TPB yaitu pendidikan tahap persiapan dan dilakukan bersama ini dimulai tahun 1973 dan berakhir pada tahun 1993. Program ini dibagi dalam dua semester dengan memikul 12 matakuliah yang secara keseluruhan sebanyak 36 SKS. Untuk bisa lanjut ke fakultas, setiap mahasiswa harus lulus dengan IPK minimal 2.00. Nilai IPK di bawah 2.00 harus mengulang selama satu tahun tetapi mahasiswa yang mempunyai IPK kurang dari 1.25 eksklusif Drop Out (DO). Mahasiswa yang mengulang dan mendapat nilai IPK kurang dari 2.00 juga harus nrimo DO. Berat memang. Tapi itulah TPB IPB.

Program pendidikan TPB-IPB yang seragam, ternyata mahasiswanya sangat beragam. Mereka diundang sehabis seleksi administratif sebagai siswa terbaik di sekolahnya. Mereka tiba dari banyak sekali tempat di seluruh Indonesia, ada yang tiba dari dekat tugu Monas di Jakarta ibukota Republik Indonesia, juga ada yang tiba dari kota kecil terpencil di pedalaman Sumatra, menyerupai saya; ada yang lulusan Sekolah Menengan Atas Negeri 8 Jakarta juga ada yang tiba dari Sekolah Menengan Atas Negeri 1 Padang Sidempuan, menyerupai adik kelas saya; ada yang tiba dari Sabang dan ada yang tiba dari Merauke, serta ada yang tiba dari Sekolah Kedutaan di Paris. Tidak hanya itu, keluarga mereka juga sangat beragam, ada anak petani, menyerupai saya, juga ada anak Menteri dan anak Presiden; tentu saja ada anak seorang guru di pelosok kecamatan dan anak seorang guru besar di IPB. Bhineka tunggal ika di tingkat persiapan bersama. Benar-benar wujud miniatur Indonesia. Saya tahu persis sebab saya termasuk di dalamnya dengan nomor identitas diri IP20.0324. Nomor ini menjadi isyarat navigasi untuk melacak mahasiswa pada angkatan (tahun tertentu) yang berada di Kelompok 2 dan Golongan 6.

Sedang kuliah di Ruang P-1 (daftar bolos di pintu belakang)
Satu kelompok sekitar 150 mahasiswa yang dibagi ke dalam tiga golongan (juga didasarkan atas nomor navigasi). Satu angkatan banyaknya 10 kelompok. Itu berarti jumlah mahasiswa setiap angkatan sebanyak sekitar 1500 mahasiswa. Setiap kelompok mengangkat pimpinan sendiri yang disebut Komti (Komisariat Tingkat) yang bertanggungjawab kepada dua dosen yang ditunjuk Direktur TPB IPB sebagai Konselor (semacam wali kelas). Komti juga berkoordinasi dengan Komti dari kelompok lainnya dengan mengangkat pimpinannya yang disebut Ketua Angkatan. Setiap kelompok akan kuliah bersama di satu ruang kelas besar yang disebut Ruang Persiapan yang banyaknya 10 buah (dengan isyarat P1, P2,..,P10). Pada ruang kelas inilah setiap kelompok mendapat bahan kuliah yang sama selama dua semester. Utuk keperluan latihan soal-soal (excercise) dan latihan percobaan (lab) sehabis kuliah di kelas yang disebut kelas responsi/lab) setiap kelompok dibagi ke dalam tiga kelas yang lebih kecil (sekitar 50) yang disebut Golongan. Kelas responsi/lab ini dipandu oleh seorang mahasiswa senior. Di dalam golongan, kelompok dalam satu angkatan inilah sanggup diamati keragaman mahasiswa menyerupai kelincahan fisika mahasiswa, kesesuaian kimia mahasiswa dan penampilan biologi mahasiswa, juga tingkat ekonomi mahasiswa dan perkembangan sosiologis mahasiswa. Ada yang aktif ikut memimpin organisi mahasiswa, ada yang tampak ceria dan ada yang tampak serius, ada yang ganteng dan bahkan ada yang sangat manis tetapi lebih banyak yang sedang-sedang saja menyerupai saya dan tentu saja hanya beberapa saja yang tergolong kurang ganteng atau kurang manis (skewness, positif ke kanan). Ada yang kulitnya putih halus dan juga ada yang gelap menyerupai saya (bekas disengat matahari terik di tengah sawah). Meski demikian, semua berbaur di ruang kelas, di warung atau di kantin tanpa sekat-sekat. Saat kuliah, kebetulan disamping  satu mahasiswa persis duduk mahasiswa lainnya yang manis (atau sebaliknya mahasiswa ganteng), mahasiswa tidak akan tergoda, sebab perhatian semua mahasiswa hanya tertuju ke depan kelas di panggung selama dosen menjelaskan bahan di papan tulis hijau. Itu semua akhir tekanan akademik yang tinggi, semua mahasiswa hanya berpikir untuk mendapat nilai bagus dan lulus TPB.

Kurikulum pendidikan TPB terbagi ke dalam tiga kelompok mata kuliah: Kelompok mata kuliah inti, menyerupai Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi; Kelompok mata kuliah umum, menyerupai Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Agama, Kewiraan dan P4; Kelompok mata kuliah khusus, menyerupai Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosiologi dan Ilmu Pertanian. Disebut mata kuliah inti sebab semua mahasiswa berasal dari Sekolah Menengan Atas jurusan IPA.

Mata kuliah inti ini tingkat kesulitannya satu level di atas mata pelajaran di Sekolah Menengan Atas untuk Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Anda bisa bayangkan, bagaimana reaksi mahasiswa yang berasal dari banyak sekali level Sekolah Menengan Atas di tanah air terhadap mata kuliah inti yang levelnya ditingkatkan setara dengan di luar negeri. Itu yaitu satu masalah. Masalah yang lebih penting yang ingin diselesaikan agenda pendidikan TPB-IPB ini yaitu memberi kesempatan untuk semua anak negeri untuk kuliah di fakultas tanpa harus mengurangi mutu. Solusi yang diberikan yaitu memberi kesempatan bagi mahasiswa IPK 1.25-1.99 untuk mengulang satu tahun. Program pendidikan TPB IPB ini boleh dikatakan seleksi akademik terlama dan terketat. Saya termasuk kelompok mahasiswa yang mengulang alias RCD (Reducing Crisis and Dropout). RCD menjadi semacam proses tera ulang (kalibrasi) sebab perbedaan asal-usul mahasiswa. Proses ini juga menjadi treatment untuk memposisikan mahasiswa pada level mutu yang diinginkan oleh semua fakultas di Institut Pertanian Bogor. Mahasiswa yang lulus TPB dan mulai mengikuti studi di fakultas sudah dalam status siap berguru di fakulteit (keragaman telah dieliminasi). Itulah kejeniusan agenda pendidikan TPB IPB ini suatu sistem seleksi akademik yang mengkombinasikan seleksi talenta alam (kecerdasan) dan seleksi ketahanan sosial (bersaing mencapai level yang sama dalam satu kelompok umur, cohort yang sama dengan latar belakang mahasiswa yang sungguh sangat beragam). Program pendidikan TPB IPB ini, sadar tidak sadar, sangat sesuai dengan amanat konstitusi negara. TPB-IPB menjadi semacam ‘padepokan’ candradimuka dalam mempersiapkan lebih awal calon sarjana Indonesia sebelum mereka nanti berbakti di tengah masyarakat.

TPB-IPB sanggup dikatakan sebagai suatu situs penting dalam dunia akademik untuk menempa mahasiswa sebelum diberi menentukan fakultas yang diinginkannya. TPB-IPB menyeleksi anak negeri dengan memberikan tekanan yang tinggi pada suhu ruang yang sama sebelum diproses lebih lanjut di tingkat fakultas (universitas). TPB-IPB telah mengeliminasi keragaman input yang tinggi (kecerdasan, tingkat budaya dan perkembangan sosial yang berbeda-beda) untuk membentuk abjad lulusan yang homogen pada level tinggi di awal perkuliahan di fakultas. Proses eliminasi yang hebat ini, TPB IPB menjadi sebuah ‘hub’ yang menjembatani keragaman asal usul darimana mahasiswa tiba (setelah lulus SMA) dan keseragaman input dalam memasuki dunia akademik di tingkat fakultas (Perguruan Tinggi yang sebenarnya). TPB-IPB telah menjadi supra seleksi masuk perguruan tinggi yang jauh melampaui bentuk seleksi lainnya yang melalui ujian tertulis (PP-1, kini disebut SBMPTN). TPB IPB  telah melaksanakan fungsinya untuk mengkalibrasi kemampuan intelektualitas calon mahasiswa, ketahanan sosialnya dan pembentukan minat sehingga mahasiswa benar-benar siap kuliah di fakultas yang dipilihnya. Karena itulah tahun pertama di IPB disebut Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Suatu sistem pendidikan pasca-SMA dan pra-universitas yang hanya ditemukan di IPB. Disinilah keutamaan TPB IPB ini bila dibandingkan dengan model PMDK (kini SNMPTN) yang mana setiap calon mahasiswa sudah menentukan fakultas sebelum tiba ke IPB.

TPB IPB telah menyeleksi kemampuan akademik mahasiswa (mengkalibrasi mata kuliah inti ke level yang diinginkan, dengan kesempatan mengulang satu tahun/dua semester), menguji mahasiswa duduk bersama dengan rekan yang bermacam-macam asal-usul pada kondisi suhu ruang yang sama untuk membentuk ketahanan sosial mahasiswa. TPB IPB sadar tidak sadar telah mempersiapkan calon mahasiswa yang ‘tahan banting’ yang dibutuhkan kelak ketika lulus sarjana tidak cengeng dalam meniti karir. Motto IPB yang kini ‘Searching and Serving The Best’ sejatinya telah dipraktekkan di IPB pada masa lampau yang disebut TPB.

Dimana Mereka? Lulus Bagai Air Mangalir Sampai Jauh

TPB IPB telah banyak dikenang oleh para alumninya. TPB IPB dipandang sebagai agenda pendidikan yang unik. Suatu agenda pendidikan dengan proses pembelajaran dengan tekanan tinggi. Akibatnya antar satu sama lain mahasiswa tidak lagi melihat siapa saya, siapa kau dan siapa dia, tetapi setiap mahasiswa hanya larut untuk berjuang untuk diri sendiri biar nilainya bagus dan terhindar dari dropout. Kebersamaan misi inilah yang menciptakan mahasiswa menjadi bersahabat ketika jelang berakhir semester dengan berlibur bersama, apakah ke Istana Bogor, ke puncak atau melaksanakan kunjungan sosial ke panti sosial. Untuk menutup kebersamaan selama satu tahun kuliah di TPB IPB mereka yang satu kelompok kelas mengabadikan nama mereka dengan menciptakan buku kenangan yang dibagi pada dikala kelulusan,

TPB-IPB sanggup dikatakan sebagai suatu situs penting dalam dunia akademik untuk menempa mahasiswa sebelum diberi menentukan fakultas yang diinginkannya. TPB-IPB menyeleksi anak negeri dengan memberikan tekanan yang tinggi pada suhu ruang yang sama sebelum diproses lebih lanjut di tingkat fakultas (universitas). TPB-IPB telah mengeliminasi keragaman input yang tinggi (kecerdasan, tingkat budaya dan perkembangan sosial yang berbeda-beda) untuk membentuk abjad lulusan yang homogen pada level tinggi di awal perkuliahan di fakultas. Proses eliminasi yang hebat ini, TPB IPB menjadi sebuah ‘hub’ yang menjembatani keragaman asal usul darimana mahasiswa tiba (setelah lulus SMA) dan keseragaman input dalam memasuki dunia akademik di tingkat fakultas (Perguruan Tinggi yang sebenarnya). TPB-IPB telah menjadi supra seleksi masuk perguruan tinggi yang jauh melampaui bentuk seleksi lainnya yang melalui ujian tertulis (PP-1, kini disebut SBMPTN). TPB IPB  telah melaksanakan fungsinya untuk mengkalibrasi kemampuan intelektualitas calon mahasiswa, ketahanan sosialnya dan pembentukan minat sehingga mahasiswa benar-benar siap kuliah di fakultas yang dipilihnya. Karena itulah tahun pertama di IPB disebut Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Suatu sistem pendidikan pasca-SMA dan pra-universitas yang hanya ditemukan di IPB. Disinilah keutamaan TPB IPB ini bila dibandingkan dengan model PMDK (kini SNMPTN) yang mana setiap calon mahasiswa sudah menentukan fakultas sebelum tiba ke IPB.

Setelah dua atau tiga dasawarsa kehilangan kontak, mahasiswa eks TPB IPB dikumpulkan kembali dalam bentuk Reuni. Sebuah komite dibuat untuk mempersiapkan aktivitas reuni TPB IPB. Komite mulai melacak kelompok dalam satu angkatan, Komite ini sepertinya sangat antusias mengumpulkan kembali group semacam suatu ‘pasukan’ yang dulu eksis namanya Kelompok...Angkatan ...TPB IPB yang lulusannya kini terpencar bagaikan daun-daun awut-awutan (mengambil nama judul buku yang dikarang oleh Prof. Andi Hakim Nasution). Eks pasukan itu, dengan berbasis ‘buku kenangan’ semua ‘anggota pasukan’ dilacak melalui komunikasi Word of Mouth (WOM), networking dan searching via internet. Semua eks pasukan sepertinya harus ditemukan: Dead or Alive.

Beberapa tahun belakang ini, terutama sehabis dipicu oleh adanya ‘medsos’ muncul keinginan untuk melaksanakan reuni, menyerupai reuni SD, reuni SMP, reuni Sekolah Menengan Atas dan reuni fakultas atau universitas. Animo reuni itu juga ternyata terjadi pada suatu kelompok ‘calon mahasiswa’ fakultas yang disebut TPB IPB. Uniknya, reuni TPB IPB ini tidak hanya melacak mahasiswa yang lulus TPB IPB saja yang melanjutkan studi di fakultas di IPB, juga kawan-kawan yang satu kelompok tetapi mereka DO. Mereka yang DO harus dibedakan yang tiba dari kampung dengan yang tiba dari kota besar. Yang tiba dari kampung umumnya sebab level pemahamannya masih kurang sebab kualitas SMAnya, tetapi yang dari kota besar yang asal Sekolah Menengan Atas berkualitas, mereka DO sebab ketidaksesuaian peminatan. Tetapi mereka yang DO di tahun pertama atau DO sehabis mengulang umumnya melanjutkan studi ke universitas lain yang sesuai minatnya. Mereka ini bahkan banyak yang sukses kuliah di ITB dan dan UI. Jadi, seleksi akademik di TPB IPB tidak hanya seleksi kecerdasan (level pemahaman mahasiswa) tetapi juga ketahanan sosialnya (apakah psikologis dan bidang minatnya sesuai dengan ilmu-ilmu pertanian).

Dari semua bentuk-bentuk reuni pada masa ini, apa yang menarik dari Reuni TPB IPB bila dibandingkan dengan reuni-reuni yang lain? Reuni TPB IPB yaitu suatu reuni yang unik. Jika reuni SD, SMP, Sekolah Menengan Atas dan Fakultas melaksanakan reuni sebab mereka pernah bersama beberapa tahun di masa lampau. Tetapi TPB IPB hanya bersama kurang dari satu tahun alias dua semester). Inilah yang menimbulkan reuni TPB IPB, baik menurut kelompok atau menurut angkatan sehabis sekian dekade menjadi sangat khas.

Komite reuni sepertinya telah bekerja keras untuk mempersiapkan reuni dan juga berusaha untuk melacak dan menemukan kawan-kawan usang seperjuangan di TPB IPB. Modal anggota komite untuk melacak yaitu buku kenangan, buku yang berisi nama, alamat dan asal Sekolah Menengan Atas plus foto ditambah sedikit pesan dan kesan yang ditutup oleh sebuah komentar singkat yang dibuat para anggota editor buku. Buku kenangan yang berfungsi sebagai file memori kolektif yang dipakai sebagai modal awal pelacakan juga mempunyai informasi masa kemudian yang mengindikasikan mereka berasal darimana. Reuni menjadi suatu aktivitas retrospektif ke masa lalu, buku kenangan dalam hal ini menjadi kotak pandora, suatu file yang berisi informasi yang sanggup diperbandingkan dengan informasi pada dikala reuni. Hasilnya sangat mencengangkan: mereka kini terdistribui kembali di seluruh Indonesia dengan profesi yang sangat beragam. TPB IPB dalam hal ini terkesan menjadi semacam titik simpul (bottleneck): dari keragaman usang ke keragaman yang baru. Perbedaan keragaman ini mengindikasikan terdapat perbedaan signifikan antara origin (asal, tempat masa lalu) dan tempat tujuan (tempat tinggal masa kini). TPB IPB telah menjadi bandara/terminal transit. Asal Jawa Barat ke Sumatra Barat, asal Jawa Timur ke Jakarta, asal dari desa ke luar negeri dan sebagainya. Yang juga tidak terduga, hanya minoritas yang tetap setia pada bidangnya, di bidang pertanian. Semua tiba ingin jadi Insinyur Pertanian, tetapi kenyataannya hanya sedikit yang benar-benar berprofesi sebagai Insinyur Pertanian. Mereka sehabis lulus TPB IPB bagaikan air mengalir hingga jauh. Faktor ini pula yang diduga menjadi penyebab penting mengapa reuni diadakan meski sejatinya hanya pernah duduk besama dalam satu tahun saja. Frase dalam William Shakespeare ‘apalah arti sebuah nama’ berlanjut ke farse Forrest Gump ‘pertemuan di halte bis yang sekejab adakalanya lebih berkesan daripada suatu pasangan di dalam perkawinan yang masing-masing menaruh cintanya tidak dalam satu piring’     

Mereka yang bereuni eks TPB IPB baik pada tingkat kelompok apalagi pada tingkat angkatan, sesungguhnya tidak saling mengenal secara mendalam. Mereka hanya mengenal sebab pernah satu SMA, pernah satu fakultas, pernah berdekatan atau satu kost atau pernah satu pekerjaan atau bertetangga sehabis sarjana. Namun apa yang menimbulkan mereka bersemangat untuk bereuni, bahkan lebih bersemangat daripada reuni-reuni eks satu fakultas atau eks satu SMA. Itulah yang menjadi pangkal kasus sehingga sanggup dikatakan reuni yang khas. Namun bila kembali ke masa lampau, jawaban itu sanggup ditemukan. Mereka pernah duduk bersama, meski hanya dalam rentang waktu dua semester, tetapi mendapat pengalaman bergaul dengan teman-teman gres (yang heterogen) dalam suasana akademik dengan sajian yang seragam. Mereka tiba ke kelas atau lab seakan gaya sentrifugal yang muncul (saling membantu), tetapi bila sudah habis kuliah/praktikum gaya sentripetal yang ada (lekas ke kost untuk berguru mandiri). Jadi, faktor satu-satunya mereka saling kenal betul hanya ketika kelas dan praktikum berlangsung, Suasana yang cenderung akademis inilah yang menciptakan kesan sesama begitu mendalam: saling mencicipi arti kebersamaan dalam mempersiapkan diri masing-masing untuk UTS maupun UAS dan lulus dari TPB. Ibarat kerumunan menunggu di halte bis AKAP untuk mengantarkan mereka ke tujuan masing-masing. Romantisme yang bersifat akademik inilah yang menimbulkan perasaan besar lengan berkuasa untuk reuni. Suatu romantisme yang muncul sekejab yang hanya terjadi singkat, selama dua semester di TPB IPB.

Jadi pada dasarnya bukan di reuni tetapi justru di TPB IPB itu sendiri, di suatu tempat yang khusus di masa lampau. Reuni dalam hal ini hanya sekadar menjadi titik simpul baru, titik kumpul baru, tiba dari banyak sekali tempat, kemudian habis itu berpencar kembali. Reuni sanggup terjadi lagi (ada angkatan atau kelompok sudah melaksanakan dua kali reuni dengan interval tiga atau lima tahun). TPB IPB menjadi situs penting di masa lalu. Suatu situs pembelajaran yang dilakukan model treatment menguji daya intelektualitas dan ketahanan sosial mahasiswa.

Andi Hakim Nasution dan TPB IPB

Penerapan Program Pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) tidak hanya di IPB, tetapi juga di ITB. Yang membedakannya TPB IPB dengan TPB ITB yaitu tingkat keberagaman mahasiswanya. TPB IPB menyerupai telah dideskripsikan di atas, TPB ITB mahasiswanya lebih seragam, cenderung tiba dari kota-kota besar dengan tingkat sosial keluarga yang relatif homogen bila dibandingkan dengan TPB IPB. Program pendidikan TPB IPB mengikuti tumpuan ‘jemput bola’ sedangkan TPB ITB ‘menunggu bola’. Pola ‘jemput bola’ mempunyai proporsi yang besar untuk mahasiswa undangan yang disebut PP-2 (semacam PMDK atau SNMPTN pada masa ini), sedangkan tumpuan ‘menunggu bola’ proporsi terbesar mahasiswa yang telah lolos seleksi ujian tulis nasional (PP-1, kini UNPTN atau SBMPTN). Perbedaan karakteristik mahasiswa inilah yang membedakan TPB IPB dan TPB ITB. Perbedaan metode seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri inilah yang menciptakan ada perbedaan besar antara komposisi mahasiswa TPB IPB dan TPB ITB.

Pola seleksi TPB IPB ini dimulai tahun 1973 oleh Prof. Andi Hakim Nasution dan koleganya. Saat itu, Andi Hakim Nasution yaitu Direktur Pendidikan Sarjana IPB. Sebagai seorang Statistikawan, Andi Hakim Nasution sudah barang tentu paham ‘distribusi normal’ mahasiswa yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dengan ‘distribusi normal’ lulusan Sekolah Menengan Atas di seluruh Indonesia. Ada perbedaan yang besar. Untuk memenuhi tuntutan amanat konstitusi bahwa pendidikan untuk semua, maka gagasan sistem penerimaan masuk untuk Perguruan Tinggi Negeri harus ditinjau ulang. Andi Hakim Nasution bersama kolega momodifikasi ‘distribusi normal’ dengan gagasan gres sistem penerimaan siswa gres dengan treatment ala TPB IPB yakni dengan mengundung semua siswa Sekolah Menengan Atas berprestasi (paling tidak nilai rapor selama lima semester di Sekolah Menengan Atas bersifat linier atau konstan) tetapi dijaga ketat, tidak hanya seleksi akademiki administratif tetapi seleksi akademik khusus yang itu tadi kita sebut kuliah persiapan bersama TPB IPB selama dua semester. Ada risikonya, tetapi lebih banyak memberi imbas pada manfaat, selain memenuhi amanat konstitusi, juga memberi kesempatan untuk para lulusan Sekolah Menengan Atas yang berasal dari tingkat keragaman yang tinggi dalam soal mutu. Treatment ini diperlonggar sedikit, tidak hanya treatment TPB IPB satu tahun (dua semester) tetapi juga dimungkinkan untuk mengulang (satu tahun lagi) untuk mengurangi jumlah mahasiswa yang mengalami Crisis dan Dropout (RCD). Hasil agenda pendidikan TPB IPB perhiasan ini (RCD) digabung dengan lulusan TPB IPB tahun berjalan untuk membentuk distribusi normal baru. Oleh sebab itu ‘distribusi normal’ yang dipakai TPB IPB berbeda dengan ‘distribusi normal’ TPB ITB. Distribusi normal TPB IPB sejatinya bukan distribusi normal tunggal (unik) tetapi pada dasarnya seakan menyerupai penggunaan ‘distribusi normal ganda’. Lulus TPB IPB apakah lulus satu tahun atau lulus dua tahun dianggap sama untuk persyaratan masuk fakultas (perguruan tinggi). Karena itu, bila tidak lulus TPB IPB memang tidak layak melanjutkan ke fakultas (perguruan tinggi). Disinilah perbedaan hasil seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (fakultas) di ITB dengan hasil masuk masuk fakultas (PTN) di IPB.

Seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri ala IPB melalui Program Pendidikan TPB ini sangat terkesan bagi lulusan IPB. Para lulusan yang terkesan tidak hanya mereka yang berasal dari wilayah-wilayah terpencil, tetapi juga yang berasal dari kota besar. Sebab pada dasarnya, mahasiswa yang berasal dari Sekolah Menengan Atas yang rendah mutunya, menyerupai Sekolah Menengan Atas di pedalaman ada juga yang lulus setahun TPB IPB dengan nilai IPK tinggi, sebaliknya mahasiswa yang berasal dari Sekolah Menengan Atas yang tinggi mutunya dari kota besar menyerupai Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan ada juga yang harus mengulang (RCD). Dalam hal ini Program Pendidikan TPB IPB telah menjalankan fungisnya secara sempurna sebagai fungsi pengaman (mengkalibrasi kemampuan mahasiswa) sebelum mahasiswa benar-benar mengikuti agenda pendidikan selanjutnya di tingkat fakultas (perguruan tinggi) apakah pada sisi intelektualitas atau sisi ketahanan sosial. TPB IPB menjadi ‘kawah candradimuka’ untuk setiap siswa di seluruh Indonesia, dikarenakan telah memperlihatkan (mengakomodir) agenda pendidikan yang lebih humanis dan berkeadilan (menyadari Indonesia itu tidak homogen). Keragaman itu telah dieliminasi dengan baik oleh agenda pendidikan di TPB IPB.

Program pendidikan di TPB IPB, tidak hanya menyeleksi untuk memenuhi persyaratan memasuki Perguruan Tinggi Negeri (persyaratan akademik dan ketahanan sosial) tetapi juga menjadi situs penting untuk mereview minat dan keinginan yang muncul ketika di Sekolah Menengan Atas dengan proyeksi bidang pekerjaan yang diambil di masa depan melalui pemilihan fakultas yang sesuai. Bakat dan keinginan terasah dengan sendirinya selama TPB IPB. Setiap mahasiswa mulai menilai diri sendiri path atau passionnya berada di jalur/bidang apa. Sebab selama dua semester di TPB IPB setiap mahasiswa sudah bisa memprediksi agenda pendidikan di banyak sekali fakultas. Pengukuran kapabilitas diri dengan pemilihan program/fakultas menjadi fungsi perhiasan dalam mengikuti Program Pendidikan TPB IPB. Pengembangan talenta dan pembentukan minat dipertemukan. TPB IPB menjadi faktor koreksi pada cita-cita. Mahasiswa yang sebelumnya ingin menjadi mahir agronomi bermetamorfosis ingin menjadi mahir perikanan; yang sebelumnya ingin mahir peternakan bergeser dengan minat gres menjadi dokter hewan; yang berminat kehutanan beralih ke teknologi pertanian; dan sebagainya. Tentu saja ada yang tadinya ingin mahir statistika pertanian menyerupai Prof. Andi Hakim Nasution menjadi mahir ekonomi pertanian, yang sebelumnya ingin menjadi mahir pakan ternak menjadi mahir gizi manusia. Saya tidak membayangkan mahir ekonomi sebab saya dan semua mahasiswa TPB IPB berasal dari jurusan IPA di SMA. Suatu jurusan di Sekolah Menengan Atas yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan mata pelajaran (ilmu) ekonomi. Tapi, TPB IPB telah memberi penawaran gres dan membuka minat mahasiswa untuk menjadi mahir ekonomi.         

TPB IPB telah memoles setiap lulusan Sekolah Menengan Atas menjadi calon mahasiswa untuk siap memasuki fakultas (perguruan tinggi) sesuai ‘passing grade’ yang distandarkan, memperkuat ketahanan sosial mahasiswa dan juga meluruskan keinginan mahasiswa. Itulah hakikat TPB IPB. Suatu agenda pendidikan yang khas, suatu agenda pendidikan yang digagas oleh Andi Hakim Nasuation dan kolega. Karena itu Andi Hakim Nasution dikenang oleh semua lulusan IPB.

Program Pendidikan TPB dimulai tahun 1973 dan berakhir pada tahun 1993. Program ini bertahan selama dua puluh tahun. Dengan perkiraan bahwa batas usia pensiun 70 tahun untuk dosen senior (guru besar), maka semua dosen-dosen senior yang ada di IPB yang merupakan alumni IPB yaitu dosen-dosen yang pernah dulu mencicipi bagaimana kuliah di TPB IPB. Dengan kata lain, dosen-dosen senior dan para pejabat IPB yang ada di IPB dalam satu dasawarsa terakhir ini yaitu lulusan (produk) TPB IPB.   

Nama Andi Hakim Nasution kemudian oleh para lulusan IPB yang kini menjadi pejabat di IPB menabalkan nama Andi Hakim Nasution sebagai gedung rektorat di IPB. Keputusan itu diduga sebab faktor TPB IPB, bukan sebab Andi Hakim Nasution pernah menjadi rektor IPB. Andi Hakim Nasution sendiri pernah menjadi rektor IPB selama dua periode (1978-1987). Akan tetapi, gagasan Andi Hakim Nasution yang selalu brilian yang menjadi alasan untuk dikenang oleh para mahasiswanya.

Andi Hakim Nasution lahir di Batavia (kini Jakarta) pada tanggal 30 Maret 1932. Ayahnya berjulukan Anwar Nasution yaitu alumni Sekolah Kedokteran Hewan (Veeartsenschool) di Buitenzorg (kini Bogor) pada tahun 1928 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 22-05-1928). Lahir di Pidoli, Mandailing, lulusan HIS Padang Sidempoean. Anwar Nasution masuk Veeartsen School tahun 1922 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 23-05-1923). Setelah lulus, Drh. Anwar Nasution diangkat menjadi dokter binatang pemerintah di Batavia (De Indische courant, 04-06-1930). Saat di Batavia inilah Andi Hakim Nasution lahir. Salah satu bantuan Dr. Anwar Nasution yaitu menciptakan pedoman pengawasan daging binatang untuk diterapkan di seluruh wilayah Hindia Belanda hingga ke desa-desa (lihat De Indische courant, 27-06-1941). Sarjana Kedokteran Hewan pertama Indonesia yaitu Sorip Tagor. Veeartsen School dibuka tahun 1907. Sorip Tagor yaitu angkatan pertama dan lulus tahun 1912. Sorip Tagor diangkat sebagai tangan kanan dosen di Sekolah Dokter Hewan di Buitenzorg (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1913). Tidak berapa usang kemudian (akhir tahun 1913), Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapat gelar dokter binatang penuh (setara dokter binatang Belanda) di Rijksveeartsenijschool, Utrecht. Sorip Tagor lulus pada bulan Desember 1920 dan mendapat gelar dokter binatang (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-01-1921). Sorip Tagor Harahap lahir di Padang Sidempuan, 21 Mei 1888 yaitu kakek dari Risty/Inez Tagor dan Destri Tagor (istri Setya Novanto, Ketua DPR).

Sorip Tagor direkomendasikan oleh Radja Proehoeman, seorang  dokter hewan. Si Badorang gelar Radja Proehoeman lahir di Pakantan, Mandailing sehabis lulus sekolah guru (Kweekschool) Padang Sidempoean tahun 1883 melanjutkan kursus kedokteran binatang di Jawa. Kweekschool Padang Sidempoean yaitu suksesi Kweekschool Tanobato. Setelah lulus ditempatkan di di Kinali (kini di Pasaman Barat) tahun 1886 (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886). Tahun 1897 Radja Proehoeman berdinas di Paijacoemboeh (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-08-1897). Dokter binatang Radja Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1906 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28-09-1906). Pada tahun 1907 Radja Proehoeman merekomendasikan dan membawa Sorip Tagor lulusan sekolah dasar Eropa (ELS) Padang Sidempoean ke Buitenzorg tempat dimana Veeartsenschool akan dibuka. Radja Proehoeman yaitu ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, PhD yang meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1930 di Universiteit Amsterdam. Perempuan Indonesia pertama bergelar PhD yaitu Dr. Ida Loemongga di Universiteit Utrecht tahun 1931 (di bidang kedokteran), Kakek Ida Loemongga berjulukan Soetan Abdul Azis Nasution yaitu angkatan pertama sekolah guru (kweekschool) Tanobato, Mandailing. Satu angkatan dengan Soetan Abdul Azis Nasution yaitu Maharadja Soetan.

Sekolah guru ini didirikan dan diasuh oleh Sati Nasution alias Willem Iskander tahun 1862. Willem Iskander sendiri berangkat studi ke Belanda tahun 1857 dan lulus mendapat diploma guru di sekolah guru di Haarlem. Willem Iskander lahir di Pidoli yaitu pribumi pertama studi ke Belanda. Kakak kelas Willem Iskander berjulukan Si Asta mengikuti studi kedokteran di Docter Djawa School di Batavia tahun 1854 dan lulus tahun 1856. Dr. Asta Nasution yaitu siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa.

Pada tahun 1874 pemerintah Hindia Belanda memberikan beasiswa kepada Willem Iskander studi lebih lanjut (untuk mendapat gelar sarjana pendidikan) dengan membawa tiga guru muda untuk mendapat diploma guru (Banas Lubis dari Tapanuli, Adi Sasmita dari Bandoeng dan Raden Soerono dari Soerakarta). Namun sayang, tiga guru muda ini meninggal di Belanda tahun 1875 dan kemudian tahun 1876 Willem Iskander dikabarkan meninggal di Belanda. Willem Iskander yaitu kakek buyut dari Prof. Andi Hakim Nasution.

Willem Iskander tidak berhasil mewujudkan cita-citanya sebagai sarjana pendidikan pertama dari kalangan pribumi. Baru 30 tahun kemudian keinginan Willem Iskander ada yang melanjutkannya. Soetan Casajangan, seorang guru di Padang Sidempoean pada tahun 1905 berangkat studi ke Belanda untuk meraih gelar sarjana pendidikan. Saat itu di Belanda gres lima orang pribumi yang kuliah di Belanda. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan yaitu lulusan Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887 yang mana direkturnya yaitu Charles Adriaan van Ophuijsen (penyusun tata bahasa Melayu pertama). Ayah Soetan Casajangan yaitu Maharadja Soetan, murid Willem Iskander di Kweekschool Tanobato. Pada tahun 1908 ketika jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda sebanyak 20 orang, Soetan Casajangan menggagas perhimpunan mahasiswa Indonesia yang disebut Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan menjadi presiden pertama. Nama organisasi mahasiswa ini diubah pada tahun 1822 oleh Dr. Soetomo dkk menjadi Indonesiasche Vereeniging dan pada tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubah lagi namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia yang disingkat PI.

Pada tahhun 1910 seorang cowok belia lulusan ELS Padang Sidempoean namanya Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia mengikuti jejak Soetan Casajangan. Pada tahun 1911 Soetan Casajangan meraih gelar sarjana pendidikan, sarjana pendidikan pribumi pertama. Suatu gelar pendidikan yang dulu ingin diraih Willem Isaknder dan telah diwujudkan oleh Soetan Casajangan. Pada tahun 1913 Soetan Casajangan pulang ke tanah air dan menjadi guru. Jabatan terakhir Soetan Casajangan yaitu Direktur sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Soetan Goenoeng Moelia sehabis mendapat gelar sarjana kembali ke tanah air tahun 1918 tetapi di dalam perkembangannya Soetan Goenoeng Moelia beralih profesi menjadi guru (antara lain di Sipirok da Kotanopan). Soetan Goenoeng Moelia dipindahkan ke Normaal School di Meester Cornelis sebagai wakil eksekutif untuk membantu Soetan Casajangan. Soetan Goenoeng Moelia juga merangkap anggota Komisi Pendidikan HIS di Batavia. Pada tahun 1930 Soetan Goenoeng Moelia berangkat studi tingkat doktoral ke Belanda dan lulus tahun 1933 dengan gelar doktor (Ph.D) di bidang filsafat dan pendidikan. Soetan Goenoeng Moelia yaitu guru pertama pribumi bergelar doktor. Soetan Goenoeng Moelia yaitu anak Mangaradja Hamonangan, pensiunan guru di Padang Sidempoean, yang juga alumni Kweekschool Padang Sidempoean. Soetan Goenoeng Moelia kelak menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua tahun 1946 (setelah Ki Hadjar Dewantara). Soetan Goenoeng Moelia yaitu saudara sepupu Amir Sjarifoeddin (Perdana Menteri RI kedua).

Last but not least. Alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Buitenzorg yaitu Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan tahun 1914 (dua tahun sehabis Dr. Sorip Tagor lulus). Setelah berdinas beberapa tahun, Soetan Kenaikan mendirikan sekolah pertanian swasta pertama di Lubuk Sikaping tahun 1925 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925. Veeartsenschool dan Middelbare Landbouwschool kelak tahun 1940 digabung menjadi Landbouw Hogeschool (Sekolah Tinggi Pertanian) sebagai salah satu fakultas di Universiteit van Indonesia. Pada tahun 1946 Landbouw Hogeschool yang menjadi serpihan dari Universiteit van Indonesia dipecah menjadi dua fakultas: Fakultas Kedokteran Hewan (faculteiten der dierengenees kunde) dan Fakultas Pertanian (faculteit van landbouw wetenschap) di Bogot. Pada tahun 1950 Universiteit van Indonesia diakuisi oleh Indonesia menjadi Universitas Indonesia. Andi Hakim Nasution masuk tahun 1952 di Fakultas Pertanian dan lulus tahun 1958 dengan predikat cum laude. Andi Hakim Nasution melanjutkan studi ke Amerika Serikat dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1964 di North Carolina State University. Saat pulang ke tanah air, Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia telah dipisahkan dan dibuat Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1963. Andi Hakim Nasution diangkat menjadi dosen di IPB tahun 1965. Pada tahun 1966 Andi Hakim Nasution diangkat menjadi Dekan Fakultas Pertanian dan kemudian pada tahun 1971 diangkat menjadi Direktur Pendidikan Sarjana IPB. Dua tahun kemudian, 1873 Andi Hakim Nasution menerapkan tumpuan penerimaan masuk IPB melalui jalur undangan dan setiap mahasiswa harus mengikuti Program Pendidikan yang disebut TPB IPB.
  
Oleh sebab itulah Andi Hakim Nasution dan TPB IPB tidak bisa dipisahkan. Andi Hakim Nasution, sebagai Direktur Pendidikan Sarjana IPB semenjak tahun 1971 mulai menerapkan tumpuan (model) penerimaan mahasiswa gres dengan metode ‘menjemput bola’ dengan cara mengundang siswa-siswa Sekolah Menengan Atas yang berprestasi di seluruh Indonesia. Mereka yang diterima akan mengikuti agenda pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB).

Andi Hakim Nasution mendapat gelar guru besar (profesor) di bidang Statistika dan Genetika Kuantitatif tahun 1972. Pada tahun 1875 Andi Hakim Nasution diangkat menjadi Dekan Sekolah Pasca Sarjana. Pada tahun 1878 Andi Hakim Nasution diangkat menjadi Rektor. Pada dikala menjadi rektor inilah Prof. Andi Hakim Nasution menggagas agenda pendidikan yang baru, yang disebut Program Terminal yakni setiap calon guru besar harus lebih dahulu lulus agenda pendidikan doktor atau Ph.D. Sebagaimana model penerimaan mahasiswa (TPB), agenda terminal guru besar ini juga kemudian diterapkan secara nasional. Itulah Andi Hakim Nasution, pencetus pendidikan di Perguruan Tinggi, sebagaimana kakek buyutnya Willem Iskander sebagai pencetus pendidikan pribumi pada era Hindia Belanda tahun 1862 (satu era sebelumnya). Willem Iskander menyatakan untuk menjadi guru sekolah rakyat harus lulus sekolah guru (Kweekschool). Andi Hakim Nasution menyatakan untuk menjadi guru besar harus lulus agenda doktoral lebih dahulu dan untuk menjadi mahasiswa IPB di tingkat fakultas harus lulus TPB lebih dahulu. Di sinilah pertemuan gagasan sang kakek dengan sang cucu dalam dunia pendidikan: Sati Nasution alias Willem Iskander dan Andi Hakim Nasution (like father, like son).

Hingga tahun 1933 jumlah orang Indonesia yang meraih gelar doktor (Ph.D) dan semuanya dari luar negeri gres sebanyak 26 orang dan hanya satu orang wanita yakni Ida Loemongga Nasution. Orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) yaitu Husein Djajadiningrat pada tahun 1913. Daftar orang Indonesia peraih gelar doktor (Ph.D) selanjutnya yaitu sebagai berikut: (2) Dr. Sarwono (medis, 1919); (3) Mr. Gondokoesoemo (hukum 1922); (4) RM Koesoema Atmadja (hukum 1922); (5) Dr. Sardjito (medis, 1923); (5) Dr. Mohamad Sjaaf (medis, 1923); (7) R Soegondo (hukum 1923); (8) JA Latumeten (medis, 1924); (9) Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (hukum, 1925); (10) R. Soesilo (medis, 1925); (11) HJD Apituley (medis, 1925); (12) Soebroto (hukum, 1925); (13) Samsi Sastrawidagda (ekonomi, 1925); (14) Poerbatjaraka (sastra, 1926); (15) Achmad Mochtar (medis, 1927); (16) Soepomo (hukum, 1927); (17) AB Andu (medis, 1928); (18) T Mansoer (medis, 1928); (19) RM Saleh Mangoendihardjo (medis, 1928); (20) MH Soeleiman (medis, 1929); (21) M. Antariksa (medis, 1930); (22) Sjoeib Proehoeman (medis, 1930); (23) Aminoedin Pohan (medis, 1931); (24) Seno Sastroamidjojo (medis, 1930); (25) Ida Loemongga Nasution (medis, 1931); (26) Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sastra dan filsafat, 1933). Jumlah doktor terbanyak berasal dari (pulau) Djawa, yang kedua berasal dari Residentie Tapanoeli. Cetak tebal yaitu doktor-doktor asal Afdeeling Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan).

Demikian, untuk sekadar teringat TPB IPB dan Andi Hakim Nasution. Saya sendiri tidak kenal betul dengan Pak Andi Hakim Nasution. Namun dalam beberapa kesempatan yang tidak sengaja (random) pernah bertemu. Pertemuan pertama ketika saya masih di TPB IPB justru terjadi di dalam bemo. Ketika saya naik Pak Andi ada di dalam bemo sisi kanan luar. Saya naik kemudian duduk dan membisu seribu bahasa. Beberapa penumpang lainnya yang juga mahasiswa juga tidak berkutik. Semua tidak menyangka. Anehnya, semua penumpang mahasiswa itu tidak ada yang berani turun duluan meski ada yang seharusnya duluan turun. Ketika Pak Andi turun di pintu gerbang IPB, gres kami semua ikut turun. Lega rasanya. Tapi beberapa dikala kemudian saya menyadari ada yang terlewatkan. Mengapa tidak saya atau kami sapa tadi di dalam bemo dan mengajak ngobrol Pak Andi. Yang terlewatkan menciptakan diri saya menjadi bersalah. Bukankah itu tadi kesempatan satu-satunya.

Sering saya terkenang-kenang pertemuan tidak sengaja itu. Nama Andi Hakim Nasution sangat dikenal semua mahasiswa IPB. Andi Hakim Nasution tidak hanya Rektor IPB tetapi juga sudah diketahui umum sebagai penggagas rekrutmen mahasiswa dengan tumpuan undangan. Beberapa waktu kemudian tiba waktunya bulan puasa. Saya coba mengirim kartu lebaran ke Pak Andi dengan tujuan alamat rumah. Saya tidak menyangka, sebelum lebaran ada surat yang saya terima diantar oleh Pak RT ke tempat kos saya. Saya buka, kartu lebaran dari Andi Hakim Nasution dan keluarga. Suatu kartu lebaran balasan. Sejak itu tiap tahun saya kirim kartu lebaran, dan selalu ada kartu lebaran balasan.

Beberapa kali saya lihat Pak Andi melewati jalan gang di depan tempat kost saya, sebuah pavilium (bagian dari) rumah. Andi Hakim Nasution tampak suka jalan pagi pada hari Minggu. Saya menduga Pak Andi jalan pagi dengan menentukan track yang sesuai kebutuhannya yakni dengan memutar dari rumahnya di Bogor Baru melawati Jalan Tegal Lega (Jalan Raya Bagor Baru) kemudian melalui jalan Malabar Ujung dan berbelok disamping SLB kemudian menuruni track tiga kelok ke bawah, sehabis jembatan kemudian naik tangga lurus ke atas mengikuti sepanjang gang Tegal Manggah. Pada ujung gang berbelok dua kali dimana tempat kos saya. Suatu jalan pintas menuju Perumahan Bogor Baru di Jalan Tegal Lega A VI/4 (alamat ini saya catat dari kartu lebaran yang masih tersimpan di lemari kerja saya di kantot).

Pada suatu pagi di hari Minggu, mungkin anda tidak percaya, sebab saya juga tidak menduga. Sehabis mandi, sekitar jam 9an saya duduk di sebuah dingklik panjang di depan kost persis berada di bawah jendela. Saya lagi ngopi sambil baca koran Pos Kota yang saya pinjam sebentar dari Pak RT. Saya tidak menduga Pak Andi lewat di depan saya hanya sekitar satu meter di depan saya. Tempat kos saya hanya satu meter ke jalan gang di belokan. Tampaknya Pak Andi kelelahan, ketika sudah melewati saya lima meter, Pak Andi berbalik dan ingin minta duduk istirahat sejenak. Saya persilahkan duduk, sambil saya menjauh sedikit sambil bangkit agak dekat pintu. Pak Andi menanyakan saya apakah punya air minum. Ada Pak. Saya ambil ke dalam kemudian saya tuangkan dari teko kecil ke dalam gelas yang saya taruh di atas dingklik di sisi Pak Andi. Silahkan Pak diminum. Setelah minum, Pak Andi segera berdiri. Lalu Pak Andi hanya bertanya ‘ini tempat kosnya? Iya Pak. Terimakasih ya, saya telah diberi minum, saya jalan lagi. Baik Pak. Saya belum berpikir, Pak Andi sudah berlalu tidak terlihat di belokan. Kembali saya tidak tahu apa-apa. Saya masih kaget, kalimat yang masih terngiang di indera pendengaran ‘ini tempat kosnya’ yang saja jawab ‘Iya, Pak’. Hanya itu. Tidak menanyakan nama saya dan juga tidak memberi kesempatan kepada saya untuk bertanya. Tapi saya paham, Pak Andi sedang olahraga jalan pagi dan kebetulan agak lelah dan haus. Itulah yang menciptakan kembali pertemuan tidak terduga. Pertemuan sekejap. Padahal saya sudah punya kartu lebaran jawaban dua kali dari beliau. Saya menduga Pak Andi tidak akan bisa menghubungkan pernah ketemu membisu di bemo, kartu lebaran dan pertemuan yang gres saja terjadi. Persoalan itu tentu terlalu remeh temeh buat dipikirkan Pak Andi. Tetapi itu bagi saya yaitu insiden besar. Hanya Tuhan yang memahaminya.
   
Kartu lebaran Andi Hakim Nasution dan keluarga
Saya masih mengirim kartu lebaran bila waktunya tiba. Setelah sekian usang pada simpulan tahun 1987 seseorang memberikan kabar kepada saya, bahwa saya diminta menghubungi Pak Andi Hakim di rumahnya di Bogor Baru. Sekali lagi saya kaget. Pak Andi dikala itu saya tahu sudah tidak lagi menjadi rektor telah digantikan oleh Prof. Sitanala Arsjad. Tapi ada apa? Apakah sebab saya tiap tahun mengirim kartu lebaran? Saya kan belum saling kenal. Hanya ada dua kejadian pertemuan yang tidak disengaja dan hanya sekilas. Itu juga sudah lama. Besoknya saya bersiap, menyerupai waktu yang diminta, dari tempat kost saya ke rumah belia, jalan kaki. Tidak sulit bagi saya menuju ke sana. Setiap mahasiswa sudah mengetahui dimana Pak Andi tinggal di Bogor Baru.

Saat itu saya yaitu ketua organisasi mahasiswa asal Tapanuli Selatan di Bogor (IMATAPSEL BOGOR). Suatu organisasi semacam OMDA sekarang. IMATAPSEL Bogor didirikan pada tahun 1963 (seumur dengan IPB). IMATAPSEL yaitu organisasi mahasiswa tempat (OMDA) tertua di Bogor. Menurut dokumen, dikala pendiriannya tahun 1963 IMATAPSEL anggota berjumlah sebanyak 15 mahasiswa. Saya yaitu ketua umum yang ke-14. Pada tahun 1912 jumlah mahasiswa asal Tapanuli Selatan (dulu disebut Afdeeling Mandailing dan Angkola) di Buitenzorg (kini Bogor) sebanyak lima orang termasuk Sorip Tagor (angkatan pertama Veeartsen school dan dokter binatang pertama Indonesia), Abdul Azis Nasution (angkatan pertama Middelbare Landbouwschool) dan Alimoesa Harahap di Veeartsen school (tahun 1930 menjadi anggota Volksraad dari dapil Noord Sumatra). Pada tahun 1920 jumlah mahasiswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola sebanyak 10 orang termasuk Djohan Nasution di Middelbare Landbouwschool (ayah Prof. Lutfi Ibrahim Nasution). Pada tahun 1928 jumlah mahasiswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola sebanyak 12 orang termasuk Anwar Nasution di Veeartsen school (ayah Andi Hakim Nasution). Garis continuum inilah yang menimbulkan lahirnya IMATAPSEL di Bogor pada tahun 1963. IMATAPSEL Bogor sendiri sudah jauh berkembang, paling tidak dari sisi jumlah anggota. Jumlah anggota dari tahun ke tahun semenjak pendiriannnya tahun 1963 sudah jauh meningkat, Pada dikala saya diterima di IMATAPSEL jumlah anggota sudah di atas 200 orang. Anggota IMATAPSEL tidak hanya berasal dari Sekolah Menengan Atas di Tapanuli Selatan saja (kini Tabagsel), tetapi juga dari Medan, Jakarta, Padang, Surabaya, Bandung, dan provinsi-provinsi lainnya dan bahkan sekolah kedutaan di luar negeri. Salah satu sobat saya satu kelompok di TPB IPB waktu itu yaitu mahasiswa kelahiran Jawa Barat, Iskandar Zulkarnaen Siregar (kini menjadi guru besar di Fakultas Kehutanan, IPB). Tentu saja ada senior saya di IMATAPSEL (yang ikut mengospek saya) kelahiran Pekanbaru (jurusan Statistika) yang kini menjadi guru besar statistika di Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia (Prof. Dr. Ir. Zainal Arifin Hasibuan).

Saya berangkat dengan keberanian yang siap. Sebab Pak Andi tidak rektor lagi. Mungkin dulu saya takut sebab ia yaitu rektor saya. Sesampai di rumahnya, saya pencet bel di sisi pintu pagar. Seseorang membuka pintu dan mempersilahkan saya menunggu di kursi di teras. Tidak usang kemudian Pak Andi keluar dan saya eksklusif memperkenalkan diri dan menyebut saya diminta ketemu Bapak. Silahkan masuk, ayo kita ke dalam.

Andi Hakim Nasution dan Amini (pakaian susila Tabagsel)
Saya menyusul Pak Andi masuk ke dalam dan kami duduk di ruang tamu. Namun saya selesai mengela nafas ketika gres mulai duduk, seseorang gadis tiba dari ruang belakang mau keluar dan melewati ruang tamu dimana Pak Andi dan saya duduk. Saya sedikit menoleh dan gadis itu mengenal saya. ‘Lho, koq Akhir ada disini’. ‘Iya Win’ saya jawab. Pak Andi menyela. ‘Akhir kenal Wina?’, Saya jawab ‘Iya Pak’. ‘Wina sobat satu kelas di jurusan’. Wina menimpali. ‘Iya Om, Akhir orangnya baik....tapi’ (tanpa memberi kesempatan kepada Pak Andi untuk bertanya ‘tapi apa’) saya mendahului: ‘Tapi apa Win’. Sambil Wina pamit kepada kami, bilang: ‘Sering bolos, Om’ (saya tidak tersinggung, sebab sudah usang kenal Wina; itu memperlihatkan persahabatan yang baik sesama mahasiswa PKP; Wina yaitu keponakan istri/Pak Andi; Wina lagi berkunjung dikala itu).

Tanpa menghiraukan obrolan sepintas saya dengan Wina, Pak Andi memulai pembicaraan. ‘Apakah Akhir yang menjadi ketua IMATAPSEL sekarang?’. Iya Pak. Ingin melanjutkan pembicaraan, tiba-tiba Pak Andi menatap saya dengan sedikit mengingat-ngingat. ‘Bukankah Akhir yang memberi minum saya beberapa waktu yang kemudian di Tegal Manggah’. Saya jawab enteng. Iya, Pak, betul Pak. ‘Oalah...masih disitu tinggal? Iya Pak, masih. ‘Bagaimana kuliahnya?’. Lancar-lancar saja Pak. ‘Bagus. Dimana kampungnya?’. Di Padang Sidempuan Pak. Selanjutnya Pak Andi bertanya. ‘Apakah Akhir mudik libur panjang ini atau siapa yang pulang kampung?’. Saya mudik Pak, sudah dua tahun tidak pulang kampung. ‘Begini...Beberapa waktu yang kemudian di Padang Sidempuan didirikan universitas’. Iya Pak, saya juga sudah dengar dari kawan-kawan. ‘Tapi mereka masih sangat minim kemudahan dan buku-buku. Ini ada buku-buku yang telah terkumpul dari teman-teman dan masyarakat Tapanuli Selatan seJabotabek, koleksi buku saya juga saya sertakan di situ. Apakah Akhir bisa bantu membawanya ke sana?’ Siap, Pak. ‘Ini ada jumlahnya enam kardus’.

Dengan seorang teman, yang juga pengurus IMATAPSEL Bogor, kami berkemas-kemas pada hari keberangkatan. Kami ke rumah Pak Andi menyewa kendaraan beroda empat barang untuk mengangkut buku-buku enam kardus Gudang Garam tersebut menuju loket bis Sampagul di Jalan Otista. Setelah tiba di Padang Sidempuan, buku-buku itu disimpan di rumah orang tua, dan gres seminggu kemudian kami menyerahkannya kepada pengurus universitas tersebut, Namanya Universitas Graha Nusantara disingkat UGN. Selesai sudah menjalankan kiprah yang diberikan Pak Andi. Setelah sebulan di kampung, kembali ke Bogor. Tentu saja melapor ke Pak Andi.

Buku karya Willem Isknder (1872) dan salah satu puisinya
Di rumah Pak Andi gres saya sanggup kesempatan ngobrol sedikit dan sedikit rileks. Kami lebih banyak membicarakan situasi dan kondisi terkini di Tapanuli Selatan. Pak Andi sepertinya tidak terlalu memahami Tapanuli Selatan, Pak Andi lebih banyak bertanya dan saya yang menjelaskan. Dalam serpihan simpulan obrolan itu, Pak Andi sempat bertanya apakah saya tahu Willem Iskander. Saya tahu Pak, Saya sering baca buku karangannya berjudul Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk yang terbit tahun 1872. ‘Bagus’. Saya ada salah satu puisinya yang paling berkesan bagi saya, Pak. ‘Apa itu’. Adjar Ni Amang Na Di Anak Na, Na Kehe Toe Sikola. 'Bagus'. Puisi ini nanti dalam skripsi saya akan saya kutip sebagai halaman pertama. ‘Bagus itu’. Willem Iskander yaitu orang hebat, begitu komentar Pak Andi sehabis semua responnya terhadap saya: bagus. ‘Akhir juga harus berguru sejarah. Pak Basyral Hamidy Harahap sudah melaksanakan penelitian Willem Iskander’. Sejak itu tidak ada kesempatan lagi saya bertemu dengan Pak Andi. Hanya kejadian yang tidak terduga yang bersifat random itu semata yang mempertemukan saya dengan Pak Andi. Pertemuan random yaitu pertemuan yang diatur Tuhan.

Saya tidak menyadari apa sejauh ini dan saya tidak terlalu memikirkan mengapa Pak Andi bertanya dan antusias wacana Willem Iskander dan merespon saya dengan jawaban bagus. Saya tidak tahu siapa Willem Iskander, kecuali namanya dihubungkan dengan buku berjudul Sibulus-bulus, Sirumbuk-rumbuk yang sering saya baca semenjak SMP.

Baru beberapa tahun terakhir ini saya mulai memahami siapa Willem Iskander, mengapa Pak Andi dulu antusias mensupport saya dengan kata-kata yang sama: bagus. Saya gres kini menyadari bila Andi Hakim Nasution terhubung dengan Willem Iskander. Ketika Pak Andi menantang saya berguru sejarah, saya tidak tahu waktu itu bila Pak Andi yaitu keturunan (kerabat) dari Willem Iskander. Kini, saya sedang melaksanakan finishing buku yang saya tulis wacana sejarah Willem Iskander. Semoga saja segera selesai. Judulnya: Willem Iskander: Pionir Pendidikan Modern Indonesia. Buku ini saya dedikasikan kepada jiwa pionir Willem Iskander di bidang pendidikan.

Demikianlah perkenalan saya dengan Pak Andi. Artikel ini yaitu salah satu wujud yang sanggup saya didedikasikan kepada Prof. Andi Hakim Nasution, mantan Rektor IPB dan penggagas TPB IPB. Karena melalui TPB IPB saya bisa menulis artikel ini. Karena TPB IPB pula saya mendapat kesempatan menentukan bidang keilmuan dan profesi yang saya suka hingga sekarang.

Satu yang khas ketika mengikuti perkuliahan di TPB IPB yaitu dua mata kualiah ilmu sosial yakni Ilmu Ekonomi dan Ilmu Sosiologi. Dua mata kuliah ini boleh dikatakan gres bagi semua mahasiswa TPB IPB. Sebab semua mahasiswa TPB IPB yaitu jurusan IPA di SMA. Satu-satunya mata kuliah yang sulit saya pahami yaitu Ilmu Ekonomi. Saya sulit mengerti arti pergerakan dan pergeseran dalam fungsi seruan (demand function) dan fungsi penawaran (supply function). Saya tidak berhasil memahami di kelas begitu juga di responsi. Apakah sebab saya tidak bahagia dengan ilmu sosial? Saya tidak tahu, tapi yang terang waktu itu saya lebih menyukai matematika dan ilmu kimia—dari kampung ingin jadi insinyur pertanian. Untuk kedua matakuliah ini saya tidak terlalu kesulitan. Pada jelang ujian kedua dan ujian ketiga saya berinisiatif ke tempat Bang Hermanto di Asrama Wisma Raya untuk ‘belajar khusus’ Ilmu Ekonomi. Singkat cerita, pada ‘kuliah khusus’ terakhir di asrama, Bang Hermanto berharap saya bisa lulus. Lalu, hasilnya saya lulus mata kuliah Ilmu Ekonomi ini dengan nilai B (memuaskan). Saat saya berkunjung ke asrama dan saya ceritakan saya sanggup nilai B untuk ilmu ekonomi. Dia tidak kaget, malah menganjurkan untuk menentukan jurusan sosek (ilmu-ilmu sosial ekonomi) dan semoga menjadi tangan kanan Ilmu Ekonomi. Dalam hati saya berpikir: “Ah, apa-apaan kakak ini”. Singkat cerita, di hari terakhir (peminatan) pemilihan fakultas/jurusan bagi mahasiswa TPB IPB, saya agak resah jurusan/fakultas  apa yang mau dipilih. Setelah menimbang-nimbang saya tetapkan menentukan tiga pilihan (maksimal boleh mengusulkan tiga pilihan jurusan): pilihan pertama jurusan ilmu gizi masyarakat, kedua jurusan ilmu statistika pertanian, ketiga jurusan ilmu-ilmu sosial ekonomi. Tapi, saya keliru membaca formulir sehingga saya menuliskan pilihan sehingga menjadi ilmu sosial ekonomi di baris pilihan pertama dan ilmu gizi di baris pilihan ketiga sedangkan ilmu statistika sesuai di baris pilihan kedua. Karena saya memakai tinta lembap dan sulit dihapus, hasilnya sehabis dipikir-pikir saya ikhlaskan saja mengembalikan formulir yang telah diisi tersebut apa adanya tanpa berupaya untuk mengubahnya. Akhirnya beberapa waktu  kemudian diumumkan bahwa saya ditempatkan panitia dan diterima di jurusan ilmu-ilmu sosial ekonomi. Saya tidak merasa gembira, sebab saya anggap hasil seleksi itu timbul dari kekeliruan saya mengisi formulir peminatan. Seminggu pertama kuliah di jurusan ilmu-ilmu sosial ekonomi (semester tiga) saya biasa-biasa saja. Tapi di minggu kedua mulai ada godaan dan mata saya tertuju pada papan pengumuman. Ada sebuah maklumat ditempel pada selembar kertas yang intinya: “Dibutuhkan sejumlah mahasiswa untuk menjadi tangan kanan Ilmu Ekonomi untuk kelas Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dengan syarat mempunyai nilai Ilmu Ekonomi minimal B”. Wah, boleh juga, pikir saya dalam hati. Lantas saya melamar dengan mengisi formulir. Sesaat sehabis saya menyerahkan formulir itu dan mau menutup pintu kantor  koordinator matakuliah Ilmu Ekonomi tersebut Dr. Tjahjadi Sugianto yang telah melihat formulir lamaran saya menahan saya dan menegor saya dengan setengah marah: “apaan kau ini, mau asisten, tapi nilainya cuma B”. Saya kaget dan apa yang salah dengan saya. Lantas saya balik bertanya dan berdalih: “syarat yang bapak buat kan perlunya hanya minimal B, apa Bapak keliru?”. Saya jelaskan kepada beliau, saya melamar dengan serius: ‘Jika Bapak ragu, saya bersedia dites kini Pak’. Lalu ia sepertinya makin kesal dengan saya  sambil nyengir: “ya, udah. Pengumumannya minggu depan”. Setelah ‘nanya sana sini’ gres saya tahu bahwa tangan kanan yang diterima selama ini hanya pelamar yang mempunyai nilai A, tapi anehnya dari dulu-dulu syaratnya tetap minimal nilai B. Karena itu, saya menjadi tidak terlalu berharap untuk diterima menjadi tangan kanan Ilmu Ekonomi sehabis tahu tradisi tersebut. Beberapa hari kemudian, ketika saya sudah melupakannya, tiba seorang sobat menemui saya dan memberitahu bahwa  saya diterima menjadi tangan kanan ilmu ekonomi “Ah, masa. Kau ini keliru, salah lihat kali”. Untuk memastikan, saya bergegas untuk melihatnya. Benar saya diterima menjadi tangan kanan dan nama saya termasuk diantara 18 nama yang diumumkan. Saya tidak gembira. Saya ingat Pak Tjahjadi yang menciptakan saya setengah meradang waktu mendaftar, tapi juga saya ingat pesan Bang Hermanto yang pernah mendorong saya sebelumnya untuk menggantikannya menjadi tangan kanan ilmu ekonomi di Imatapsel. Saya juga mulai sadar sisi lain dari Dr. Tjahjadi. Apakah orang menyerupai saya juga dia butuhkan, meski nilai bukunya hanya B tetapi, boleh jadi Pak Tjahjadi mengingat nama saya sebab ‘Jika Bapak ragu, saya bersedia dites kini Pak’. Penilaian kuantitatif bergeser ke evaluasi kualitatif. Singkat dongeng saya putuskan untuk memulai karir menjadi tangan kanan dosen: saya menghormati Bang Hermanto dan saya juga menghargai keputusan Dr. Tjahjadi. Hal yang menciptakan saya tersenyum sendiri, sebab inilah saatnya sebagai tangan kanan Ilmu Ekonomi di IPB yang berasal dari Sekolah Menengan Atas di kota kecil di pedalaman Sumatra (Bang Hermanto sendiri sesungguhnya lahir dan besar serta alumni Sekolah Menengan Atas di kota besar di Medan). Dengan menjadi tangan kanan Ilmu Ekonomi ini justru terbuka mata  saya untuk memperpanjang daftar karir untuk menjadi tangan kanan matakuliah lainnya. Tercatat selama mahasiswa di Program Studi Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, saya telah menjadi tangan kanan untuk empat matakuliah berbeda. Selain Ilmu Ekonomi ini, juga menjadi tangan kanan dosen untuk Ilmu Kependudukan, Ilmu Ekologi Manusia dan Antropologi Pertanian (kelas D3). Riwayat inilah yang saya begitu simpatik terhadap kakak yang satu ini. Dia tidak hanya bisa memberi motivasi pada dikala yang tepat, tetapi juga jeli memperlihatkan arah yang benar kemana harus dituju. Awalnya, begitu sulit memahami konsep dan model ekonomi, tapi hasilnya lambat laun saya bisa juga memahmi sepenuhnya apa itu Ilmu Ekonomi. Sekalipun Hermanto Siregar—sadar atau tidak sadar—telah turut membelokkan keinginan yang sebetulnya saya ingin jadi insinyur pertanian malah menjadi ekonom. Terus terang kini saya menikmatinya. Bang Hermanto yaitu guru pertama saya, seorang guru yang bisa membuka jalan dan memotivasi. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar yaitu guru besar Ilmu Ekoomi di IPB, pernah menjabat Wakil Rektor IPB periode 2010-2013 dan periode 2013-2017 (kini menjadi Rektor Perbanas).

Beberapa tahun terakhir ini secara tidak sengaja saya telah mendalami bidang keilmuan ilmu ekonomi yang tidak lazim, yakni sejarah ekonomi dan bisnis Indonesia (sejak era VOC). Saat-saat inilah saya menemukan begitu banyak sumber-sumber Belanda (buku dan surat kabar) yang terkait dengan Willem Iskander (kakek buyut Andi Hakim Nasution). Apakah pesan Pak Andi dulu kepada saya: ‘Akhir juga harus berguru sejarah’, telah saya tunaikan? Semoga.

Mengapa minat saya bergeser ke peminatan sejarah ekonomi dan bisnis sesungguhnya bagaikan ‘air mengalir hingga jauh’. Sudah terang saya ingin insinyur pertanian. Namun selama di TPB IPB, ilmu ekonomi menciptakan saya tertantang meski awalnya sulit memahaminya.  Bersamaan dengan ini selama di TPB IPB terbentuk minat khusus: ilmu gizi masyarakat, ilmu statistika pertanian, dan ilmu ekonomi pertanian. Lalu IPB ‘menuntun’ saya ke pilihan tunggal yakni (jurusan Ilmu Ekonomi). Karena itu jadilah saya menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi di Fakultas Pertanian. Saat semester tiga di jurusan saya melamar menjadi tangan kanan mata kuliah Ilmu Ekonomi untuk kelas TPB. Habis semester empat setiap mahasiswa harus menentukan satu dari tiga pilihan peminatan khusus (program studi), yakni:  Ekonomi Perusahaan (Agribisnis); Ekonomi Sumber Daya, dan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian yang disingkat PKP. Ada satu pertimbangan yang menciptakan saya menentukan kekhususan tertentu. Selama tingkat dua saya telah berguru lebih jauh bidang ilmu ekonomi (dapat nilai A masing-masing untuk mata kuliah Ekonomi Mikro dan Ekonomi Makro), Akan tetapi ada hal lain yang saya rasakan untuk menjelaskan ilmu ekonomi yakni isu-isu kemasyarakatan. Itu terang bersifat sosiologis. Oleh sebab di TPB IPB sudah lulus Ilmu Sosiologi, maka ketika menentukan peminatan khusus itu di juruan hanya diampu oleh PKP. Karena itulah saya pilih agenda studi PKP, meski kawan-kawan menganggap saya salah menentukan agenda studi. Boleh jadi sebab saya yaitu tangan kanan Ilmu Ekonomi di TPB dan mempunyai nilai bagus pada dua mata kuliah inti ekonomi. Akan tetapi mereka tidak memahami apa yang telah saya pikirkan. Pada semester lima saya mencicipi mata kuliah Ilmu Ekologi Manusia sesuatu yang menarik perhatian saya, sebab itu saya mendalaminya. Ilmu Ekologi Manusia seakan memanggil kembali minat usang (sarjana pertanian). Ilmu Ekologi Manusia yaitu ilmu yang menjelaskan ilmu alam (ekosistem) dengan ilmu sosial (lingkungan sosial). Ilmu sosial dalam hal ini menciptakan saya tertantang harus menciptakan saya berguru berdikari ilmu antropoligi, Hal ini sebab tidak ada mata kuliah Ilmu Antropologi dalam daftar mata kuliah. Pada domain (baru) ini, Ilmu Ekonomi menjadi powerfull untuk ruang lingkup ekonomi Indonesia, yakni usaha-usaha kecil berbasis pertanian dan konsumen berbasis rumahtangga. Dalam fase inilah studi saya berakhir, yakni studi Ekonomi Mikro yang dikombinasikan dengan Sosiologi Mikro. Untuk sekadar catatan: Ilmu Antropologi itu sendiri yaitu Ilmu Sosiologi Mikro. Dalam perjalanannya, meski di pasca sarjana saya kembali ke Ilmu Ekonomi, tetapi ilmu-ilmu sosial (Mikro Ekonomi dan Mikro Sosiologi) tetap menempel di hati. Pada umur sudah mulai matang, menyerupai kini ini, ilmu-ilmu yang saya nikmati dulu (ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu ekonomi) kembali bersemi. Lalu lahirlah minat gres yakni memahami Sejarah Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Suatu ruang lingkup yang kurang disentuh pada bidang ilmu ekonomi, juga menjadi bidang (khusus) yang agak terlantarkan dalam bidang ilmu sosiologis. Sementara dalam ilmu sejarah, hal yang bersifat ekonomi, kalau boleh dikatakan tidak ada yang berminat, yaitu ruang pemahaman yang sangat jarang diminati. Padahal, ekonomi dan bisnis Indonesia membutuhkan pemahaman dari aspek sejarahnya. Sebab, ekonomi dan bisnis Indonesia, sejatinya masih serpihan terbesar di dalam piramida ekonomi dan bisnis Indonesia. Sejarah ekonomi dan bisnis Indonesia yang khas akan menciptakan kita memutar jarum jam kembali ke masa lampau (bahkan semenjak era VOC).        

Vergeet nooit geschiedenis.

Baca juga:
Sejarah Universitas Indonesia (4): Sejarah Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia; Sarjana Lulusan Pertama Drs. Sie Bing Tat


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap menurut sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ menyerupai surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), sebab saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi sebab sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Bogor (26): Sejarah Tpb Ipb Dan Mahasiswa Tingkat Keragaman Tinggi; Lulus, Bagai 'Air Mangalir Hingga Jauh'"

Posting Komentar