Sejarah Bandung (44): Sinar Pasoendan (1933-1942) Dan Parada Harahap; Surat Kabar Terbanyak Di Bandung Kurun Kolonial


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini

Pada masa kolonial Belanda surat kabar dalam pers nasionalis (baca: Indonesia) sudah eksis. Meski ada yang cepat melarat tetapi masih lebih banyak yang bertahan usang dan terus eksis sampai berakhirnya masa kolonial Belanda. Salah satu surat kabar nasionalis yang bertahan yaitu Sinar Pasoendan yang didirikan pada tahun 1933. Meski surat kabar Sinar Pasoendan berbahasa tempat (Sunda) tetapi sangat nyaring dalam usaha nasional.

Bataviaasch nieuwsblad, 28-03-1941
Di kota Bandung pers Belanda sudah usang eksis (sejak 1902). Namun itu hanya terbatas untuk orang-orang Eropa/Belanda dan kelompok elit pribumi. Surat kabar berbahasa Melayu dan berbahasa Sunda menjadi segmen penting untuk mencerdaskan semua golong pribumi dan ruang daypikir untuk mempertajam usaha bangsa (melawan) Belanda. Surat kabar Sinar Pasoendan termasuk surat kabar nasional yang pernah terkena delik pers.

Surat kabar Sinar Pasoendan diterbitkan secara sadar sehubungan dengan kiprah Pagujupan Pasoendan yang semakin menguat dalam usaha nasional. Surat kabar Sinar Pasoendan digagas oleh tokoh PPPKI sebagai penggalan dari penguatan persatuan nasional. Surat kabar Sinar Pasoendan secara tak pribadi telah menjadi organ penting bagi Pagujupan Pasoendan. Meski pada awal pendiriannya sulit, tetapi surat kabar Sinar Pasoendan secara sedikit demi sedikit bisa menjadi surat kabar yang besar lengan berkuasa di Bandung dan Priangan.

Tentu saja surat kabar nasional di Bandung tidak hanya Sinar Pasoendan. Pada tahun 1941 ada tujuh surat kabar di Bandung. Selain Sinar Pasoendan yaitu Sipatahoenan, Nicork Expres, Berita Oemoem, Priangan, Kebangoenan (edisi Bandung), dan surat kabar yang dipimpin oleh Ir. Oekar. Mudah kota Bandung menjadi pemilik surat kabar nasional terbanyak di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Di Djocjakarta terdapat 3 buah, di Surabaya 2 buah, di Solo 1 buah, di Palembang 1 buah, di Medan 2 buah dan di Padang 3 buah surat kabar Indonesia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-03-1941).
  
Sinar Pasoendan dan Parada Harahap

Surat kabar nasional (baca: Indonesia) sudah pernah terbit tahun 1911 di Bandung. Surat kabar berbahasa Melayu dan Sunda ini dimiliki oleh Hadji Mohamad Affandi (lihat De Preanger-bode, 15-12-1911). Namun sehabis itu tidak pernah ada kabar beritanya. Pada tahun 1933 Parada Harahap dari Batavia membangkitkan kembali nama Sinar Pasoendan surat kabar berbahasa Sunda yang pernah terbit tahun 1911. Parada Harahap yaitu pemilik percetakan NV Bintang Hindia dan NV Bintang Timoer yang menerbitkan surat kabar Bintang Timoer.

Di Bandoeng sendiri pada tahun 1933 sudah ada surat kabar berbahasa Sunda yakni Sipatahoenan. Surat kabar Sipatahoenan didirikan pada tahun 1923 di Tasikmalaja yang terbit sekali seminggu. Sejak tahun 1929 Sipatahoean terbit tiga keli seminggu. Pada tahun 1930 surat kabar Sipatahoenan pindah ke Bandoeng yang terbit setiap hari.

Kepedulian Parada Harahap terhadap surat kabar berbahasa tempat sudah semenjak usang ada. Ini sanggup dilihat dari pernyataannya pada tahun 1925. De Indische courant, 23-12-1925: ‘Sungguh luar biasa bagaimana kuat hari ini jumlah surat kabar di Jawa meningkat. Banyak yang tutup tetapi lebih banyak yang muncul. Semakin berwarna (nasionalis, keagamaan) dan juga khusus perempuan. Wartawannya juga bertambah pesat, bahkan wartawan Sumatra (di Jawa) sudah mencapai 700 anggota. Sangat disayangkan oleh Parada Harahap dari Bintang Hindia dan kantor gosip Alpena, yang merupakan wartawan terbaik dari Europeescbe pers, bahwa majalah berbahasa Jawa (baca: juga Sunda)  kurang diperhatikan oleh komunitasnya. Perjalanannya melalui Sumatera dan Selat baru-baru manjadi saksi ini'.

Parada Harahap membangkitkan surat kabar Sinar Pasoendan sebagai salah satu upayanya membangun aliansi jurnalistik pribumi (percetakan dan penerbitan) biar lebih banyak dari yang ada dan lebih menyebar di banyak sekali tempat dalam hubungannya dengan pers Belanda yang selalu memojokkan pers pribumi. Kegelisahan pers Belanda ini terasa sehabis jurnalis pribumi membentuk organisasi pada tahun 1931.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-07-1931 (Congres Inlandsche Journalisten): ‘Kongres wartawan pribumi pertama diadakan di Semarang pada 8 Agustus. Kongres ini diketuai oleh jurnalis Semarang, sekretaris jurnalis Sumatra, Paroehoem [Siregar]. Program: editor Bahagia Semarang, Pak Yunus, akan mengadakan kuliah tentang: ‘Jurnalisme dan pengembangan bisnis surat kabar’; Haji [Agoes] Salim akan berbicara pada ‘Jurnalisme dan arahan etik’; RM Soedarjo wacana ‘Orang-orang dan Jurnalisme; Maradja Loebis wacana ‘Jurnalisme dan kehidupan sosial’; Saeroen dari Sin Po wacana ‘Jurnalisme dan gerakan rakyat’ dan Parada Harahap wacana ‘Jurnalisme dan ekonomi’, sementara editor Soeara Oemoem akan berbicara pada ‘Jurnalisme dan malaise. Kemudian, organisasi wartawan, dengan Mr Saeroen sebagai ketua dan Bapak Parada Harahap sebagai sekretaris dan bendahara. Komisaris adalah  Bakrie [Soeraatmadja], Junus dan Koesoemodirdjo’.

Aliansi (jaringan surat kabar) yang dibuat Parada Harahap ini terdiri dari NV Bintang Timoer sendiri (milik Parada Harahap), percetakan Soeka Negara di Bandoeng; Koernia di Tasikmalaja yang menerbitkan surat kabar Galoeh Pakeoan; Bahagia di Semarang dengan surat kabar dengan nama yang sama; surat kabar Sinar Deli di Medanl dan surat kabar Djawa Timoer di Soerabaja (lihat De Indische courant, 09-09-1933).

Pada masa ini kira-kira ibarat dengan munculnya sejumlah jaringan surat kabar nasional. Jika masa ini networking ini dimaksudkan untuk efesiensi dalam acara jurnalistik dan membuatkan modal kepada para investor baru. Kongsi ini juga untuk mengantisipasi semakin kuatnya informasi di dunia maya dan juga tekanan surat kabar daring. Aliansi ini juga sudah ada di dalam pers Belanda. Gagasan Parada Harahap dalam hal ini tidak hanya untuk melawan tekanan pers Belanda, tetapi juga tantangan yang berat untuk meningkatkan minat baca di kalangan pribumi terutama kelas menengah ke bawah. Yang terperinci kehadiran aliansi surat kabar ala Parada Harahap ini sudah pribadi menjadi sorotan (pers) Belanda.    

Langkah pertama yang dilakukan Parada Harahap dalam membangun aliansi surat kabar ini yaitu mendirikan grup perusahaan pecetakan dan penerbitan NV Vereenigde Indonesische Drukkers en Uitgevers Maatschappijen (NV. VIDUM) dengan modal f500.000 yang terbagi dalam lembar saham f100 dan f10. Sebagai langkah awal grup perusahaan di bawah NV. VIDUM ini yaitu NV Bintang Timoer yakni surat kabar Bintang Timoer dan Djawa Barat edisi surat kabar edisi Bintang Timoer di Bandoeng; percetakan Economy yang menerbitkan surat kabar Soemangat di Bandoeng; surat kabar Sinar Pasundan yang telah diaktifkan kembali Parada Harahap di Batavia semenjak tanggal 16 Agustus 1933 dipindahkan ke Bandoeng. Total grup perusahaan untuk sementara terdiri dari dua percetakan dan empat buah surat kabar.

Ide semacam ini sudah pernah muncul dari Parada Harahap pada tahun 1927. Parada Harahap administrator NV Bintang Timoer dan juga sekaligus sekretaris organisasi kebangsaan Sumatranen Bond menggagas didirikannya supra organisasi yang disebut Permofakatan Perhimpunan-Perhimpunan Kebangsaan Indonesia (diangkat PPPKI). Rapat yang dihadiri pemimpin dari Kaoem Betawi, Bataksch Bond, Sumatranen Bond, Boedi Oetomo, Pasoendan, Jong Islamiten Bond dan PNI (Perhimpunan Nasional Indonesia) secara aklamasi mendaulat MH Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Program pertama organisasi PPPKI ini yaitu membangun gedung kantor dan menyelanggarakan Kongres PPPKI (senior) pada bulan Septermber 1928 yang diintegrasikan dengan Kongres Pemuda (junior) bulan Oktober 1928. Untuk menggaungkan pergelaran dua kongres ini Parada Harahap menciptakan surat kabar Bintang Timoer edisi Semarang (untuk pemasaran Midden Java) dan edisi Soerabaja (untuk pemasaran Oost Java). Untuk edisi West Java sudah ada surat kabar Sinar Pasoendan. Setelah kongres surat kabar edisi Soerabaja berdikari menjadi surat kabar Soera Oemoem yang dipimpin oleh Dr. Soetomo. Sebelumnya, ketua ketua panitian Kongres PPPKI yaitu Dr. Soetomo. Surat kabar edisi Semarang diduga kuat berdikari menjadi surat kabar Bahagia di Semarang.

Pada bulan November 1933 tujuh revolusioner Indonesia berangkat ke Jepang yang dipimpin oleh Parada Harahap. Dalam rombongan ini terdapat Abdullah Lubis (pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan) dan Mohamad Hatta yang gres pulang studi dari Belanda. Rombongan ini sangat antusias disambut di Jepang. Parada Harahap dijuluki pers Jepang sebagai The King of Java Press. Rombongan para revolusiner ini ke Jepang sebagai reaksi terhadap pengadilan Ir. Soekarno di Bandoeng yang rumornya akan diasingkan dan penangkapan terhadap Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mohamad Jamin.

Situasi pada tahun 1933 dan 1934 sangat panas. Surat kabar Sinar Pasoendan memberitakan nasionalis populer anggota Partai Indonesia Mohamad Jamin, mundur dari gerakan politik. Ini yaitu konsekuensi dari kenyataan bahwa ia (Mohamad Jamin)  menandatangani deklarasi tertulis di depan Residen Soerabaya dimana ia (Mohamad Jamin) berjanji untuk tidak pernah memasuki bidang politik lagi. Kami dalam hal ini mencatat bahwa [Mohaman] Jamin ditangkap oleh polisi di Soerabaya sehabis pernyataan revolusionernya pada Kongres Partai Indonesia disana (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1934). Sebagaimana diketahui semenjak Ir. Soekarno ditangkap tahun 1930 usai Kongres PPPKI di Solo Desember 1929 Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan pemerintah. Lalu kemudian para eks PNI mendirikan partai gres yang disebut Partai Indonesia (Partindo) yang dipimpin oleh Mr. Sartono. PNI sebelumnya berpusat di Bandoeng sementara Partindo menetapkan kantor sentra di Batavia. Kepala cabang Partindo di Soerabaja yaitu Mohamad Jamin dan kepala cabang di Batavia yaitu Amir Sjarifoeddin Harahap. Mohamad Jamin dan Amir Sjarifoeddin masih tercatat sebagai mahasiswa fakultas aturan (Rechthoogeschool) di Batavia.      

Pada tanggal 14 Januari 1934 rombongan revolusioner tiba kembali dari Jepang di tanah air di pelabuhan Tandjong Perak Soerabaja. Pada hari yang sama Ir. Soekarno diberangkatkan ke pengasingan di Flores dari pelabuhan Tandjong Priok. Rombongan di Soerabaja disambut oleh Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution.

Kunjungan Parada Harahap (dianggap) telah memprovokasi pers Belanda. Direktur NV Bintang Hindia yang kini mengoperasikan tiga media, yang tertua yaitu Bintang Timoer menulis secara provokatif hasil kanjungan ke Jepang di surat kabar Bintang Timoer. Surat kabar Sinar Pasoendan tanggal 10 lewat memberitkan bahwa kini Parada [Harahap] dan Dr. Soetomo yaitu sasaran serangan pers putih (pers Belanda) dan melampiaskan cemoohan yang hanya untuk mempermalukan penduduk pribumi yang tidak mendapatkan Parada [Harahap] dan yang lainnya diterima dengan sangat baik di Jepang (lihat Haagsche courant, 24-03-1934). Lebih lanjut disebutkan surat kabar Adil pada 8 Januari menganggap bahwa pers putih (Belanda) dianggap sebagai keseluruhan harus (dipandang) ibarat musuh yang hanya mengejar kepentingannya sendiri dan bertentangan dengan kepentingan rakyat. Surat kabar Adil juga memberi peringatan keras ke pers putih atas serangannya kepada Dr. Soetomo yang dikaitkan-kaitan dengan urusan bank. Pewarta Deli juga menentang kampanye pers Eropa melawan PBI [yang dipimpin oleh Dr. Soetomo].

Musuh pers pribumi tidak lagi hanya pemerintah (polisi Belanda) tetapi juga pers Belanda. Perang terhadap pers Belanda sudah dimulai Parada Harahap semenjak 1927 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-11-1927). Sejak Parada Harahap di Jepang pers Belanda mulai lagi membuka front. Kini sepertinya pers Belanda mulai menjatuhkan para pemimpin Indonesia dan juga mulai menggembosi media-media pribumi dengan taktik pecah belah (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-01-1935). Pers Belanda mulai menyerang kelemahan-kelemahan pers pribumi terutama wacana administrasi pengelolaan usaha media. Isu yang diapungkan pers Belanda ini bersambut dari pemerintah. Parada Harahap menjadi target.

Ada dua taktik Belanda untuk mengontrol surat kabar nasionalis. Pertama memantau isi pemberitaan apakah menciptakan keresahan bagi Belanda atau tidak (delik pers). Kasus terkait ini diajukan ke pengadailan pidanan. Kedua, memantau kinerja usaha apakah menguntungkan atau tidak. Jika tidak menguntungkan maka tidak ada laba bagi pemerintah dalam bentuk pajak. Surat kabar diajukan ke pengadilan perdata. Dua taktik ini menjadi alat ampuh bagi pemerintah untuk membreidel (menutup) surat kabar.

Kunjungan Parada Harahap dan revolusioner lainnya ke Jepang dihubungkan dengan duduk kasus buruknya kinerja keuangan NV Vereenigde Indonesische Drukkers en Uitgevers Maatschappijen (NV. VIDUM). Parada Harahap dan revolusioner lainnya ke Jepang dituduh memakai dana NV. Provokasi pers Belanda terhadap buruknya kinerja keuangan NV direspon beberapa pemegang saham mulai meresponnya dengan coba menarik sahamnya. Namun apesnya, situasi kondisi keuangan NV memang belum menguntungkan alias merugi dalam arti masih lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan. Terjadi semacam rush dalam dunia perbankan. Posisi keuangan NV menjadi masalah. Akibat dari itu Parada Harahap ditangkap, rumah dan kantornya digeledah. Dari penjara Parada Harahap menunggu sidang perdata.

Namun tuduhan penggunaan dana NV untuk pembiayaan ke Jepang tidak terbukti. Sebab yang membiaya tujuh revolusioner ke Jepang berasal dari himpunan pengusaha pribumi Batavia (semacam KADIN pada masa ini) yang diketuai oleh Parada Harahap dan juga sokongan dari atase Jepang (semacam Kedubes) di Batavia. Para pemegang saham menemukan bahwa surat kabar-surat kabar yang dikelola NV nyatanya memang masih mempunyai kinerja yang kecil. Jumlah pelanggan yang belum begitu banyak berangsur-angsur berkurang, bahwa hanya tinggal beberapa ratus pembaca. Sidang perdata terhadap Parada Harahap dan NV VIDUM dinyatakan pailit. Pemerintah Belanda sukses membungkam sepak terjang Parada Harahap, pers Belanda sudah barang tentu tersenyum dengan bubarnya aliansi surat kabar pribumi yang digalang oleh Parada Harahap.   

NV VIDUM dinyatakan pailit. Namun sebelum masalah NV. VIDUM dinyatakan pailit, salah satu pemegang saham kemudian mencoba menyelamatkan sebagian duduk kasus dengan membeli surat kabar Djawa Barat dari Bintang Timur (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-01-1935). Disebutkan surat kabar Djawa Barat yaitu anak usaha dari Bintang Timoer. Nasib tragis dialami oleh surat kabar Sinar Pasoendan, sebuah surat kabar berbahasa Sunda yang didirikan di Bandoeng atas prakarsa Parada Harahap. Surat kabar ini diberitahu akan segera ditutup. Juga disebutkan surat kabar Bintang Timoer sendiri masih dicetak dan terbit di bawah editor  Bapak Mutu.

Kasus pailit NV. VIDUM  tidak sendiri. Tampaknya menjadi teladan umum, teladan yang diterapkan untuk membungkam seseorang atau sekelompok orang atau untuk membreidel sutau surat kabar. Jika tidak terbukti aturan pidana (delik pers) maka diterapkan cara aturan perdata (hukum pailit). Pada tahun 1918 terjadi pada surat kabar Benih Merdeka di Medan. Kebetulan dalam hal ini, pada waktu itu Parada Harahap membongkar masalah poenalie sanctie di perkebunan di Deli dan mengirimkan laporannnya ke surat kabar Benih Merdeka yang terbit di Medan. Secara perusahaan, Parada Harahap sebagai seorang krani karyawan perusahaan perkebunan dipecat, tetapi secara pidana (delik pers) terhadap Benih Merdeka bebas. Tetapi lepas dari delik pers, surat kabar Benih Merdeka dibreidel sebab masalah perdata. Pada tahun 1910 Tirto Adhi Soerjo mengalami keduanya. Pertama Tirto Adhi Soerjo dijerat dalam masalah aturan pencemaran nama baik sehingga dikenakan pasal delik pers yang mana hukumannya Tirto Adhi Soerjo diasingkan ke Lampoeng, sementara surat kabarnya Medan Priajaji dikenakan aturan perdata sebab tuntutan para pemegang saham ibarat yang dialami Parada Harahap dan NV VIDUM.

Parada Harahap bukanlah orang yang gampang menyerah. Media yaitu alat perjuangannya melawan Belanda. Parada Harahap yaitu media dan media yaitu Parada Harahap.

Di kampung halamannya di Padang Sidempoean. Parada Harahap pada tahun 1919 mendirikan surat kabar Sinar Merdeka dan belasan kali terkena delik pers dan beberapa kali harus dibui kemudian pada tahun 1922 hijrah ke Batavia mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Di Batavia baik dengan surat kabar Bintang Hindia maupun Bintang Timoer (sejak 1926) sudah puluhan kali terkena delik pers tetapi umumnya menang di pengadilan atau aturan denda dan beberapa kali harus ditahan.

Setelah NV VIDUM dipailitkan, surat kabar Bintang Timoer tidak terbit lagi. Akan tetapi muncul nama surat kabar bari Tjaja Timoer yang dipimpin Parada Harahap (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-12-1935). Akan tetapi tidak dengan surat kabar Sinar Pasoendan. Beberapa bulan sebelum Tjaja Timoer terbit Sinar Pasoendan sudah terbit kembali. Namun baru-baru ini surat kabar Sinar Pasoendan terkena delik pers pertama (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1935). Disebutkan di Landraad Bandung, pemimpin redaksi Sinar Pasoendan, Raden Imbi Djajakoesoema, yang didakwa dengan kesengajaan dan nama baik lurah Mas Oed dari sebuah desa di Tjiandjoer, dinyatakan bersalah atas pencemaran nama baik.

Penerbitan kembali surat kabar berbahasa Sunda, Sinar Pasoendan tidak diketahui siapa yang menerbitkan apakah Raden Imbi Djajakoesoema atau Parada Harahap atau bisa jadi Hadji Ahmad Affandi.

Surat kabar Tjaja Timoer yang gres terbit di tangan Parada Harahap pribadi tancap gas. Ini sanggup dilihat sehubungan dengan niat Partai Indonesia Raya (Parindra yang dipimpin Dr. Soeromo dan Sumatranen Bond untuk meminta pemerintah melalui Volksraad untuk memperkenalkan kewajiban milisi untuk penduduk pribumi, Parada Harahap di surat kabar Tjaja Timoer menyatakan bahwa sudah waktunya nasionalis-liberal di Batavia, bahwa inilah saatnya untuk memperlihatkan kesempatan kepada orang Indonesia untuk menangani senjata dan berperang melawan serangan pemerintah terhadap setiap serangan eksternal. Surat kabar menyebutnya sebagai kiprah nasional, bahwa setiap nasionalis gotong royong membela negara asalnya (lihat Provinciale Geldersche en Nijmeegsche courant, 05-03-1936). Juga disebutkan Sinar Pasoendan di Bandoeng, sebuah surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa Sunda, dipimpin oleh mantan jaksa yakin bahwa ketika kiprah milisi untuk orang Indonesia diperkenalkan ini akan disambut dengan gembira oleh sebagian besar penduduk

Nederlandsch-Indie, 28-10-1936: ‘Dalam rangka pengoperasian jalur kereta api Batavia-Soerabaja, perusahaan mengundan pers untuk ikut dalam perjalanan percobaan pulang balik. Dari Batavia, orang-orang pers Djawa Barat pergi bersama mereka, sementara kembali dari Soerabaja teman-teman mereka dari Djawa Timur dan Djawa Tengah akan ikut ke Batavia. Di stasiun Koningsplein (kini stasion Gambir), perusahaan disambut dan dibimbing oleh Bapak Van Galen Last, kepala operasi Westerlijn (daerah operasi wilayah barat). Selain tamu laiinya, para pemimpin pers pribumi yang turut ikut yaitu (antara lain) Sanoesi Pane, editor Kebangoenan; Raden Imbi Djajakoesoemah, pemimpin redaksi Sinar Pasoendan, Mohamad Kurdi dari Sipatahoenan dan Parada Harahap, pemimpin redaksi Tjaja Timoer’.  

Surat kabar Sipatahoenan dan surat kabar Sinar Pasoendan dari Bandoeng meski terbit dalam bahasa Sunda lambat laun terlihat makin revolusioner. Boleh jadi Parada Harahap di Batavia mulai tersenyum melihat perkembangan semangat surat kabar tempat ini. De Indische courant, 19-01-1937: ‘Para editor Sipatahoenan dan Sinar Pasoendan menyikapi ijab kabul Princess Juliana dan Prince Bernhard dengan goresan pena yang provokatif sehingga diperingatkan oleh AID dari Badan Intelijen Politik untuk menghentikan kontroversi dalam hal ini, bila tidak tindakan akan diambil’. Dalam perkembangannya mulai terlihat surat kabar mana yang pro Jepang atau yang bukan sehubungan dengan pemboman Jepang di Tiongkok.

Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 28-10-1937: ‘Boikot atau tidak boikot. Sebuah polemik sedang terjadi antara surat kabar Melayu-Cina dan surat kabar pribumi dalam hal isu boikot barang-barang produksi Jepang di Indonesia. Sikap semua surat kabar Melayu-Cina meminta untuk boikot produk Jepang. Sebaliknya surat kabar pribumi hampir seluruhnya menentang pomboikotan tersebut. Soeara Oemoem, surat kabar nasionalis, dimana Dr. Soetomo, presiden Parindra, yang merupakan direktur, menyatakan bahwa dia telah bersimpati kepada China, tetapi dia tidak oke dengan boikot barang-barang Jepang; Surat kabar berbahasa Sunda Sinar Pasoendan juga menentang tindakan boikot dan menyebutnya sebagai percobaan bunuh diri untuk Hindia. Tjaja Timoer juga menganggap tindakan boikot tidak mempunyai kegunaan terlebih lagi bagi masyarakat pribumi.

Dalam perkembangannya surat kabar Sinar Pasoendan tidak lagi digawangi oleh Raden Imbi Djajakoesoemah, tetapi telah digantikan oleh Mohammad Affandie. Dari nama ini terkesan nama Hadji Mohammad Affandie orang yang pertama mendirikan surat kabar (Sinar Pasoendan) di Bandoeng pada tahun 1911. Apakah Hadji Mohammad Affandie telah kembali ke dunia pers?  

De Sumatra post, 19-01-1939: ‘Atas tuduhan Tn. K. dan dua perempuan muda di pedalaman, semuanya tinggal di Sukabumi, dua jurnalis pedalaman, Mohammad Kardi, pemimpin redaksi surat kabar Soendasche Sipatahoenan dan Mohammad Affandie, bertanggung jawab untuk surat kabar Soendasche Sinar Pasoendan, muncul Landraad Bandoeng aatas dakwaan. Sipatahoenan artikel berjudul Era Parada, yang sanggup diterjemahkan dengan Sangat pemalu, sedangkan Sinar Pasoendan dengan artikel judul Aja Naon di Malingping? yang diterjemahkan artinya Apa yang terjadi di Malingping? Dalam artikel-artikel itu diceritakan wacana tindakan Tuan K dan kedua perempuan muda itu. Terdakwa pertama (Mohamad Kurdi) membantah tuduhan terhadapnya dan juga terdakwa kedua menyatakan bahwa dia tidak bermaksud untuk menyinggung tetapi hanya untuk memperingatkan orang renta dari dua perempuan muda dan lebih jauh lagi perempuan muda pribumi pada umumnya. Dengan tidak adanya saksi yang dipanggil, persidangan ditunda’.

Dalam urusan keberanian surat kabar Sipatahoenan dan Sinar Pasoendan di Bandoeng bagaikan dua menara kembar tempat corong urang Sunda dalam berjuang. Namun dalam urusan oplah, Sinar Pasoendan kalah jikan dibandingkan dengan Sipatahoenan.

De Indische courant, 06-02-1939: ‘Pertumbuhan pers pedalaman. Surat kabar harian dengan cetakan terbesar di Bandoeng yaitu Sipatahoenan berjumlah 5.800 eksemplar. Sangat kontras dengan 1.000 eks Kaoem Moeda dan Nikarek juga 1.000 eksp. Sinar Pasoendan berjumlah 700 eksp dan Berita Priangan 600 eks’.

Pada tahun 1941 di Bandoeng jumlah surat kabar sebanyak tujuh buah. Surat kabar usang yakni Sipatahoenan, Sinar Pasoendan, Nikarek Expres, Berita Oemocm, Berita Priangan dan Kaoem Moeda. Sedangkan satu surat kabar gres terbit yaitu surat kabar berbahasa Indonesia Kebangoenan edisi Bandoeng yang mulai terbit tanggal 1 April (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-03-1941). Disebutkan surat kabar Kebangoenan edisi Bandoeng ini dengan editor Ir. Oekar. Bandoeng sanggup membanggakan rekor dengan tujuh surat kabar. Jika orang menghitung bahwa di Djocja hanya 3, di Soerabaja 2, di Solo 1, di Palembang 1, di Medan 2 dan di Padang 3 ada surat kabar Indonesia, terperinci bahwa angka yang muncul di Bandung sanggup dikenali sebagai catatan. Pers Indonesia memberi selamat kepada Ir. Oekar dengan surat kabar hariannya yang baru, tetapi dengan penambabahan Kebangoenan ini mari kita berharap bahwa tidak semua tujuh surat kabar akan melarat yang sama pada dikala yang sama, yang niscaya akan terlalu kecil kemungkinannya.

Sebagaimana sanggup dilihat kembali di atas, surat kabar Kebangoenan yang terbit di Batavia dipimpin oleh Sanusi Pane (lihat Nederlandsch-Indie, 28-10-1936). Ini seakan mengingatkan kembali bagaimana dulu Parada Harahap membangkitkan kembali surat kabar Sinar Pasoendan di Bandoeng pada tahun 1933.

Dalam hal ini, Ir. Oekar yaitu Ketua Pagoejoeban Pasoendan. Sementara Ketua Dewan Komisaris Pagoejoeban Pasoendan yaitu Mohamad Enoch, pemimpin surat kabar Sipatahoenan yang beralamat di Moskeeweg di Bandoeng (lihat De Indische courant, 06-02-1939).

Dari rangkaian di atas terlihat bahwa para tokoh-tokoh usaha Indonesia di masa kolonial Belanda juga yaitu pemimpin surat kabar dan juga aktif dalam organisasi nasional kebangsaan. Surat kabar Sinar Pasoendan telah turut memainkan kiprah dalam usaha bangsa untuk mencerdaskan bangsa untuk mencapai impian kemerdekaan. Parada Harahap telah membangkitkan kembali Sinar Pasoendan, surat kabar nasional tertua di Bandoeng.

Untuk sekadar catatan pemanis sejatinya tokoh Parada Harahap lebih kuat daripada Tirto Adhi Soerjo. Banyak tokoh pers yang diorbitkan oleh Parada Harahap, tidak hanya WR Supratman (di kantor gosip Alpena) tetapi juga Adinegoro (di surat kabar Bintang Timoer). Selain itu ada empat cowok revolusioner yang juga diorbitkan oleh Parada Harahap pada masa pendudukan Jepang yang mana Parada Harahap dikala itu yaitu kepala media propaganda Jepang yang mana anak buahnya yaitu Adam Malik (Batubara), Mochtar Lubis, BM Diah (Harahap) dan Sakti Alamsjah (Siregar). Sebagaimana disebut di atas Parada Harahap sebagai penggerak PPPKI pada tahun 1933 memimpin tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang termasuk Mohamad Hatta sebab satu alasan: Soekarno akan diasingkan, Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mohamad Jamin ditangkap. Dalam kaitan itulah NV VIDUM (termasuk di dalamnya Sinar Pasoendan) dibreidel Belanda. Selanjutnya Adam Malik kemudian meneruskan kiprah Parada Harahap dengan mendirikan kantor gosip Antara; Mochtar Lubis awalnya bersama BM Diah di surat kabar Merdeka kemudian kemudian mendirikan surat kabar Indonesia Raya; Sakti Alamsjah awalnya di media radio dan kemudian mendirikan surat kabar Pikiran Rakyat. Jika diperhatikan motto surat kabar Indonesia Raya di Djakarta yang dipimpin Mochtar Lubis sama dengan motto surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung yang dipimpin Sakti Alamsjah yakni Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat. Ini bukan kebetulan, keduanya mempunyai umur yang sama dan guru yang sama: Parada Harahap. Dalam kekerabatan ini boleh dikatakan surat kabar Pikiran Rakyat yaitu suksesi surat kabar Sinar Pasoendan di Bandung. Hormat kepada Tulang Sakti Alamsjah (saya pernah bertemu dua kali dengan dia di Bandung pada tahun 1982 di kantor surat kabar Pikiran Rakyat dan di rumah).  

Dinu Kiwari Ngancik Nu Bihari, Seja Ayeuna Sampeureun Jaga.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap menurut sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ ibarat surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), sebab saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi sebab sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Bandung (44): Sinar Pasoendan (1933-1942) Dan Parada Harahap; Surat Kabar Terbanyak Di Bandung Kurun Kolonial"

Posting Komentar