Labirin Gaya Hidup

Sesaat sebelum mudik menyambut lebaran, seorang teman tiba-tiba mengirim sms yang mendesak saya untuk segera pulang, pesannya kira-kira menyerupai ini: “cepet pulang kita jalan-jalan lagi, Pekalongan punya mall baru”. Ekspresi datar pribadi bergolak, sontak saya ingin tau lalu membalas: “sebelah mana?”, “bekas terminal lama”, balasnya lagi. Saya segera pulang untuk memastikan kebenarannya, hehehe. Terang saja, tanah kosong di pinggir pantura yang usang mangkrak itu sekarang telah bangun sebuah mall megah bertuliskan abjad balok besar-merah di atasnya: ‘R-A-M-A-Y-A-N-A’!


Sesaat sebelum mudik menyambut lebaran Labirin Gaya Hidup


Tidak menyerupai mall di kota-kota yang lebih besar menyerupai Jakarta atau Surabaya, mall gres di Pekalongan itu berukuran kecil. Luas lahannya sekitar 1,5 hektar atau tiga perempat luas lapangan sepakbola dengan tinggi  tiga lantai. Tetapi, pengunjungnya tak kalah ‘ganas’. Banyak shopaholic yang kalap melihat diskon, namun banyak juga yang nyalinya menciut ketika melirik kertas kecil di sela-sela barang branded yang dipajang. Orang-orang dari bermacam-macam kelas sosial masuk untuk membeli atau sekadar melihat-lihat.







Pengunjung pada hari itu cukup ramai, bahkan berdasarkan teman saya yang pernah kesitu sebelumnya, hari itu jauh lebih ramai ketimbang biasanya. Tentu saja, bagi kebanyakan orang suasana menyerupai ini menjadi momentum yang paling sesuai untuk belanja, apalagi bila bukan dalam rangka ‘menyambut lebaran’. Belanja yang seringkali disebut sebagai acara insan modern yang paling dikutuk, telah menjadi ritual gres untuk menyambut lebaran. Menjelang Idul Fitri, orang-orang justru sibuk belanja, seolah menyiapkan amunisi untuk merayakan euforia.


Mall menjadi ‘tempat suci’-nya agama gres tapi usang yang berjulukan belanja ini. Gedung ber-AC yang berisi kios-kios beling lengkap dengan para sales dan barang dagangannya menjadi pemanis ibadah yang berjulukan konsumsi ini. Orang-orang bergerak kesana-kemari, memilah-milah, naik eskalator dan keluar-masuk kios untuk beli atau sekadar mencuci mata. Bagaikan berada dalam labirin yang hanya berputar-putar, saya pun tidak mampu mengutuk alasannya yaitu termasuk salah satu diantaranya.


Konsumsi wa bil khusus menjelang lebaran menjadi gaya hidup bagi sebagian orang. Namun, saya teringat ceramah tarawih di mushola kampung kemarin yang menceritakan bahwa Nabi saw dahulu juga pernah membeli gamis putih dari Yaman untuk digunakan pada dikala hari raya Idul Fitri.  “Nabi saw-pun membeli baju gres menyambut Hari Raya”, katanya. Dari beberapa literatur pernah yang saya baca, Islam sama sekali tidak melarang konsumsi kecuali dua hal: barang haram dan berlebih-lebihan. Jadi, “oleh alasannya yaitu itulah saya nge-mall”.







Memang, menjadi problem ketika muncul pertanyaan: “mengapa mall jauh lebih ramai menjelang lebaran ketimbang hari-hari biasanya? apakah hal ini alasannya yaitu kita akan merayakan euforia hari kemenangan? bukankah itu tidak sesuai dengan makna ‘fitrah’ yang dimaksud oleh Islam?” Pertanyaan tersebut seringkali muncul dalam benak saya, apalagi saya pun mengaku ingin sekali ikut merayakan hari kemenangan tahun ini.


Menyambut Idul Fitri memang seolah menjadi fenomena kompleks bagi peradaban yang konon sudah mengalami proses industrialisasi ini. Peran bahan begitu menonjol melebihi ukhrawi. Pemaknaan dilakukan ke luar, alih-alih ke dalam. Padahal, makna ‘fitrah’ sebenarnya lebih ke dalam. Namun demikian, problem utamanya berdasarkan saya bukan pada konsumsi selama dilakukan dengan tidak berlebih-lebihan atau konsumsi barang haram atau mengakibatkan konsumsi ‘menyambut lebaran’ sebagai ritual khusus. Konsumsi boleh saja selama masih dalam batas wajar, yaitu tidak kikir dan tidak mubadzir. Akhirnya, selamat berbelanja buat diri sendiri dan jangan lupa menyebarkan untuk sanak saudara!



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Labirin Gaya Hidup"

Posting Komentar