Filosofi Zlatan Ibrahimovic: Review Buku

Kini tibalah saya di libur ekspresi dominan dingin, sehabis lima bulan diterpa angin ribut yang nyaris menenggelamkan ‘kapal oleng’. Ada saja kekuatan magis yang tak disangka-sangka menyelamatku dari terjangan ombak ganas semester ini. Entah datangnya dari mana, tapi saya yakin kekuatan itu akan selalu menemaniku, hingga saya berlabuh kembali di daerah dimana saya berangkat. Kepadatan agenda akademik terhenti oleh datangnya waktu rehat menjelang final tahun. Musim cuek yang sebetulnya akan segera tiba tetapi salju sudah mulai turun semenjak beberapa hari lalu. Orang-orang mulai menikmati masa libur hingga datangnya tahun baru. Setelah hanya dapat meringkuk dengan buku-buku babon dan jurnal akademik, sekarang waktunya bernapas, menikmati waktu luang hingga semester final tiba. Aku rasa, ini waktu yang sempurna untuk mendedikasikan sedikit waktuku menulis wacana pahlawanku, ‘filsuf’ lapangan hijau yang kontroversial: Zlatan Ibrahimovic.







Aku dan Zlatan


Aku sudah mendengar namanya semenjak ia hengkang dari Ajax Amsterdam, menuju salah satu klub terbaik di Italia, Juventus. Sebagai anak kecil yang berambisi menggantikan Bambang Pamungkas, saya membutuhkan sosok yang layak dijadikan idola. Nama-nama tenar di lapangan hijau muncul, salah satunya ialah Khudori. Bek kiri Persibat Batang yang gagal bersinar. Anda niscaya tidak kenal, lantaran ia bukan idolaku. Sebagai pesepak bola profesional masa depan, saya sadar sosok ideal lapangan hijau harus dicari di benua Biru, daerah liga-liga sepakbola terbaik dunia diselenggarakan. Saat itu Liga Italia mendominasi porsi tayang di televisi Indonesia, maka saya mengenal Liga Italia lebih dari liga-liga lainnya, terutama nama-nama klub dan pemainnya. Tahun 2004, ketika saya kelas 1 SMP, Zlatan Ibrahimovic menandatangani kontrak dengan Juventus. Aku mendaftar sekolah sepakbola yang markasnya persis di belakang sekolah. Zlatan ialah motivasiku mendaftar. Di lapangan, saya bermain menyerupai bukan diriku, saya selalu memakai alter-ego yang kunamai zlatan. Begitulah obsesi bawah umur di sekolah sepak bola itu. Di situ saya mengenal temanku, bek tangguh yang berjulukan Maldini. Tapi sahabat baikku ialah Gianlugi Buffon, yang suka beli es teh.


 sehabis lima bulan diterpa angin ribut yang nyaris menenggelamkan  Filosofi Zlatan Ibrahimovic: Review BukuNamun, sebulan ditempa latihan fisik, saya tetapkan keluar lantaran terlalu capek. Tapi demi karirku, saya tak berhenti berlatih, saya pindah latihan di lapangan akrab rumah lantaran untuk ke situ cukup naik sepeda onthel. Zlatan muda minta dibelikan sepeda onthel untuk ke lapangan main bola. Awal yang baik untuk menjadi pesepak bola profesional masa depan. Sebelum kelewatan, saya harus sudahi ceritaku, kembali ke awal bahwa goresan pena ini bukan wacana ‘alter-ego’, tapi wacana ‘the real’ Zlatan yang sekarang menjadi pemain terbaik Eropa. Pemain terbaik tanpa penghargaan FIFA. “I don’t need awards to know I am the best” begitulah. Zlatan ialah pemain bola dengan skill taekwondo, seorang kapten berhidung mancung, ‘hero’, ‘king’, ‘legend’, ‘god’. Zlatan ialah kolektor kendaraan beroda empat mewah, properti, gol-gol spektakuler yang aneh. Zlatan dapat bermain di sebelas posisi, pindah-pindah klub dan negara, eksklusif jadi pemain inti tanpa seleksi, tanpa audisi, menang di liga-liga besar Eropa. Aku akan menulis wacana Zlatan Ibrahimovic bukan sebagai pemain bola, tapi sebagai ‘filsuf’ lapangan hijau yang ia ceritakan sendiri dalam buku autobiografinya berbahasa Swedia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul ‘I am Zlatan Ibrahimovic’.


Filosofi narsisisme and rebel


Barcelona, rival Real Madrid di Liga Spanyol membeli Zlatan Ibrahimovic dari Inter Milan dengan nilai transfer sekitar 926 miliar rupiah pada 2009. Manajer Barcelona ketika itu, Pep Guardiola berambisi memenangkan Liga Champion. Zlatan tiba dengan rekor juara liga lokal tanpa pernah mengangkat piala Eropa. Dua ambisi bertemu dalam satu misi, menjadi yang terbaik di Eropa. Pep Guardiola disebut sebagai manajer genius dalam strategi dan kedisiplinan. Para pemain dibawah asuhannya diposisikan secara egaliter, ego individual lenyap dalam sistem administrasi tim. Di lapangan, tiki-taka ialah sepenuhnya permainan tim. Seribu passing pendek menjadi ciri khas strategi ini. Tak heran ketika banyak fans Barca memuja tiki-taka, fans lain menyampaikan membosankan. Tiki-taka ialah strategi dengan penuh kedisiplinan dan Barca dibawah Pep Guardiola berhasil menerapkannya.


 sehabis lima bulan diterpa angin ribut yang nyaris menenggelamkan  Filosofi Zlatan Ibrahimovic: Review Buku


Zlatan ialah pemain yang dikenal dengan ego yang tinggi. Di sebuah klub yang ‘egaliter’, tampaknya tidak ada daerah untuk pemain menyerupai dirinya. “Di sini, di Barcelona, kita semua menginjakkan kaki di tanah, tak ada Ferrari atau Porsche ketika sesi latihan”, kata Guardiola kepada Zlatan. Zlatan seringkali mengklaim diri sebagai yang terbaik, yang spesial. Dalam automobile dapat dianggap sekelas Ferrari atau Porsche, tapi tak ada Ferrari atau Porsche di Barcelona. “Fine!” kata Zlatan menanggapi dengan jengkel pesan Guardiola yang mencoba ‘mendisiplinkan’ dirinya. Apa yang diinginkan Guardiola? Zlatan ialah kolektor kendaraan beroda empat mewah. Namun ini bukan soal kendaraan beroda empat mewah, dapat saja ia meninggalkan mobilnya di rumah, beli sepeda onthel kemudian pergi ke daerah latihan. Namun ini ialah pesan implisit yang ada dibaliknya. “Tak ada Ferrari atau Porsche” bagi Zlatan menyerupai menyampaikan “berhenti memikirkan bahwa dirimu spesial”.


 sehabis lima bulan diterpa angin ribut yang nyaris menenggelamkan  Filosofi Zlatan Ibrahimovic: Review BukuFalsafah pertama yang dapat dilihat di sini ialah turunan dari prinsip hidup narsisistik. Kecintaan pada ego-pribadi ialah elemen vital penopang keyakinan bahwa diri ini ‘spesial’. Keyakinan semacam ini bersifat sangat personal, tumbuh dalam diri dan seringkali tak butuh legalisasi dari luar. Orang dengan abjad menyerupai ini tampaknya gampang keras kepala, sulit diatur kecuali peraturan itu memberi ruang dirinya untuk bebas berekspresi. Memiliki abjad menyerupai ini mungkin ampuh untuk memotivasi diri, menghapus rasa minder, dan berani ndablek. Semacam menyampaikan pada diri sendiri “aku yakin bisa, kenapa? lantaran saya spesial”. Namun ketika ucapan itu disampaikan ke publik, resikonya akan dianggap sebagai orang yang sombong atau arogan, dan itulah Zlatan. Zlatan ialah personifikasi individualisme-narsisistik. Aku pikir, orang yang mengaku dirinya suka minder atau nggak pede sebaiknya mulai berpikir mengidolakan Zlatan.


Falsafah kedua, tidak berhenti pada narsisisme, ialah bersikap ‘rebel’ atau melawan ‘pendisiplinan’ yang ditawarkan dari luar. Peraturan internal yang diperkenalkan Guardiola ialah wacana kesetaraan. Tidak ada satu pemain pun yang diperlakukan lebih Istimewa dari pemain lainnya. Barcelona, setidaknya dibawah manajer Guardiola menjunjung tinggi prinsip sakral egalitarianisme. Prinsip egalitarian diterjemahkan melalui tiki-taka di lapangan hijau. Di sesi latihan tidak ada yang tiba dengan kendaraan beroda empat glamor yang menyimbolkan semua pemain diperlukan terlihat setara, baik dimata fans maupun pemain lainnya. Dihadapkan dengan prinsip menyerupai ini, pilihan bagi Zlatan hanya dua, mengikuti hukum main atau melawan. Barcelona bagi Zlatan terlihat semacam sekolah atau insititusi lainnya yang menginginkan semua muridnya seragam. Saat sesi latihan, satu geng pemain terbaik dunia menyerupai Messi, Xavi dan Inesta tidak terlihat menyerupai superstar. Mereka menundukkan kepala mengikuti setiap arahan pelatihnya, “mirip anak sekolahan” kata Zlatan. Jika pelatihnya bilang “lompat“, mungkin mereka akan melompat.







Zlatan sebagai ‘filsuf’


Kebanyakan filsuf keras kepala. Zlatan keras kepala tapi ia bukan filsuf. Setidaknya ia tak pernah mengklaim dirinya demikian. Ia memang pernah mendeklarasikan diri sebagai ‘king’, ‘legend’, dan bahkan ‘god’. Tapi ia tidak atau belum pernah menyampaikan secara terbuka dirinya seorang filsuf, oleh alasannya itu saya memakai tanda kutip di sini. Zlatan sebagai seorang ‘filsuf’ tidak lebih dari sekadar evaluasi seorang fans yang mengagumi karir nomadennya dari satu klub ke klub lain. ‘Gaya hidup’-nya yang berpindah-pindah menyimbolkan karir profesional periode ‘post’-modern yang identik dengan flexibilitas, mobilitas dan kebebasan. Ia menentukan membentuk sendiri identitasnya. Zlatan tidak identik dengan satu klub, Zlatan identik dengan Zlatan. Zlatan tidak bermain dengan gaya Swedish atau Bosnian, Zlatan bermain dengan gaya yang dinamakan Zlatan-style. Arogansi, individualisme, dan narsisisme membentuk abjad Zlatan di media dan lapangan hijau.


Seorang filsuf biasa dikenal melalui konsep atau ide-ide yang dicetus dari pemikirannya. Zlatan sebagai ‘filsuf’ mengenalkan fleksibilitas dan mobilitas karir sebagai pesepak bola profesional. Banyak pemain yang mengadopsi gaya berkarir menyerupai itu namun tak setenar Zlatan. Pilihannya berpindah-pindah membuatnya ‘tidak punya rumah’, dibanding Giggs, Totti, atau Gerrard contohnya yang selalu dihubung-hubungkan dengan Manchester, Roma, dan Liverpool. Zlatan ialah rumah bagi Zlatan. Ia di Malmo, Amsterdam, Turin, Milan, Barcelona, Paris, dan sekarang Manchester. Ia tidak hanya datang, bermain, kemudian menang. Ia menang kemudian pergi, menang lagi, kemudian pergi lagi. Loyalitas tidak pada intitusi dimana ia berkarir, loyalitas berada pada kemenangan dimanpun ia berkarir. Zlatan membangun identitasnya sendiri lebih besar dari klub dimana ia bermain. Filosofi Zlatan Ibrahimovic ialah menanggalkan label institusi, narsis bahwa dirinya ‘spesial’, dan rebel ketika ada yang mencoba menyeragamkan. Filosofi Zlatan sejalan dengan ‘self-help books’ yang menganggap setiap individu unik dan spesial.



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Filosofi Zlatan Ibrahimovic: Review Buku"

Posting Komentar