Sejarah Kota Depok (56): Melacak 12 Nama Keluarga (Geslachtsnaam) Di Depok; Awal Mula Pencatatan Dan Penulisan Last Name


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Di Depok tempo dulu ada nama keluarga (geslachtsnaam), jumlahnya 12 buah: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, Zadokh. Mereka ini ialah pewaris Land Depok milik Cornelis Chastelein. Nama keluarga Zadokh disebutkan telah hilang. Paling tidak nama keluarga tersebut ditulis di belakang nama sudah dilakukan pada tahun 1812. Nama-nama keluarga tersebut masih dipakai sampai masa ini.

Silvester Jacobus Laurens lahir di Depok 17 Oktober 1811 (Java government gazette, 11-07-1812); Johanna Laurens lahir di Depok 30 September 1811 (Java government gazette, 19-12-1812). D. Jonathans di Depok (Bataviaasch handelsblad, 30-08-1869). Reiner Leander di Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-08-1878). Rijkloff Johannes Loen van Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 16-02-1894). Daniel Jozef Bacas, Depok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-03-1897). JE Isakh di Depok (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1915). L Samuel menikah di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1916). Sara Tholense menikah di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 31-03-1920). Leena Jacob di Depok (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-03-1921). RF Soedira di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 12-02-1926). A Joseph di Depok (Bataviaasch nieuwsblad, 15-03-1937),

Pertanyaannya semenjak kapan nama-nama tersebut ditabalkan sebagai nama keluarga. Lalu semenjak kapan awal mula pencatatannya. Pada era VOC, orang Eropa/Belanda sudah semenjak usang memakai nama keluarga di belakang nama, bahkan jauh sebelum mereka tiba ke Hindia Timur ibarat Cornelis de Houtman. Namun ada juga nama-nama keluarga yang gres yang harus ditetapkan melalui proses pengadilan. Lantas bagaimana dengan nama-nama keluarga yang di Depok yang jumlahnya 12 buah. Tentu saja masih menarik untuk ditelusuri sabab musababnya.

Geslachtsnaam: Keluarga Laurens di Depok

Mengapa begitu penting geslachtsnaam sehingga seseorang harus mematenkan nama belakang ayahnya ke pengadilan untuk dijadikan sebagai nama keluarga (geslachtsnaam) untuk bawah umur dan turunannya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-12-1927). Kita tidak tahu. Yang terperinci pengidentifikasian seseorang berdasarkan nama keluarga sudah semenjak usang ada di Eropa dan juga tetap dilestarikan di Hindia baik pada era VOC maupun pada era Pemerintah Hindia Belanda. Bagi orang-orang Eropa/Belanda penulisan nama keluarga di belakang nama sepertinya wajib, tetapi belum menjadi penting di kalangan orang-orang Arab, Tionghoa maupun pribumi. Di kalangan pribumi sendiri, penulisan nama sesuai tradisi masing-masing yakni mengidentifikasi nama berdasarkan nama kecil dan atau nama gelar. Nama depan (first name) dan nama belakang (surname) ialah sebagai penanda nama navigasi. Nama last name (geslachtsnaam) memperlihatkan asalnya dari mana, berkerabat dengan siapa.

Pada era modern zaman now, penulisan nama tetap mempunyai dilema sendiri. Beberapa puluh tahun yang kemudian saya dengan sobat memasuki sebuah perpustakaan di Hawaai. Petugas yang harus mencatat setiap pengunjung masuk hanya membolehkan masuk yang mempunyai nama lengkap (first name dan surname/last name). Saya tidak kasus lantaran di paspor sudah diidentifikasi secara lengkap (awal, tengah dan akhir). Saya cukup memakai nama first name dan last name/marga saja. Teman saya segera berpikir, kemudian memperlihatkan nama ayahnya di belakang nama (yang nama ayahnya juga nama tunggal). Sejak itulah sobat saya itu mempunyai first name dan family name. Hingga kini sobat tersebut tetap melestarikannya dan bahkan nama anak-anaknya juga mengikuti nama kakeknya (sebagai nama keluarga). Tentu saja penggunaan nama tunggal pada masa ini di Indonesia tidak terlalu dipersoalkan.

Pada era kolonial Belanda, intinya nama depan (first name) ialah nama lahir sebagaimana diminta di dalam mengajukan akte kelahiran. Sementara nama belakang (last name) ialah nama sosial sebagaimana lazim dipakai oleh orang-orang Eropa. Satu lagi, di dalam nama juga diselipkan di tengah sebagai nama baptis diantara orang yang beragama Kristen/Katolik. Dalam penulisan nama publik (nama sosial) nama baptis lebih sering disingkat dengan hanya menandai dengan karakter pertama. Untuk orang pribumi solusinya ialah nama kecil (sebagai first name) dan nama gelar (sebagai last name). Dalam hal ini last name hanya sebagai nama individu, bukan nama keluarga (family name, geslachtsnaam atau marga).

Di banyak sekali tempat di Hindia Belanda (baca: Indonesia), banyak sekali kelompok masyarakat satu garis keturunan (clan) telah mempunyai nama keluarga yang ditransformasikan dari nama clan. Nama clan ada yang sudah eksis semenjak zaman kuno dan juga ada yang gres ditabalkan kemudian. Di Tapanuli (Tanah Batak) nama clan itu ialah marga, ibarat Harahap, Siregar, Nasution dan Lubis. Sejak kapan nama marga di Tanah Batak diidentifikasi sulit diketahui. Penulis Portugis Mendes Pinto menulis di dalam bukuanya yang terbit tahun 1535 menyebut duta besar Kerajaan Aroe (Aroe Batak Kingdom) bergama Islam berkunjung ke Malaka. Nama dubes ini ialah ipar dari raja berjulukan Quareng Daholay. Nama dubes ini ibarat nama Karim marga Daulay.

Orang Eropa/Belanda ke Tanah Batak yang kemudian disebut Tapanoli gres terjadi pada era Pemerintahan Hindia Belanda. Nama marga diadopsi sebagai nama individu gres terdeteksi pada tahun 1892 yakni Thomas Siregar di Sipirok (lihat Gumbu Humene. 1892. Amsterdam: Hoveker). Nama berikutnya ialah Markus Siregar (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-04-1894). Lalu diikuti dengan empat nama berikutnya, yakni: Jos Harahap, Jafet Harahap, Samuel Tandjoeng dan Cornelia Pane (lihat Algemeen Handelsblad, 13-09-1894). Penulisan nama marga di belakang nama mereka ini diduga besar lengan berkuasa dimulai oleh kalangan misionaris. Sebab nama-nama di kalangan pemerintahan belum ada yang memakai nama marga, hanya berdasarkan nama kecil dan atau nama gelar.

Penggunaan nama marga di belakang nama kemudian muncul di kalangan pendidikan. Yang pertama terdeteksi pada tahun 1909, yakni: Mohamad Daulaij [lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-10-1909: ‘Layanan Medis Sipil mengumumkan bahwa di Ngawi (Madiun), dokter Inlandsche Mohamad Daulay; juga diperbantukan dokter inlandsche Mohamad Daulaij di Semarang’]. Lalu kemudian terdeteksi tahun  1912 yakni Aminoeddin Loebis dan I. Harahap yang terdaftar sebagai siswa Koningin-Wilhelmina School di Batavia (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-05-1912). Selanjutnya terdeteksi nama Abdoel Azis Nasoetion, seorang siswa sekolah pertanian Landbowschool di Buitenzorg (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1912). Dari kalangan jurnalis terdeteksi pertama ialah Abdullah Lubis tahun 1916 di Medan editor surat kabar Benih Merdeka dan jurnalis muda Parada Harahap editor surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean tahun 1919.

Di Depok, bila selama ini dianggap terdapat ada 12 nama keluarga, penulisan nama keluarga di belakang nama pertama kali terdeteksi pada tahun 1812. Sebagaimana telah disebut di atas nama tersebut ialah Silvester Jacobus Laurens lahir di Depok 17 Oktober 1811 (Java government gazette, 11-07-1812) dan Johanna Laurens lahir di Depok 30 September 1811 (Java government gazette, 19-12-1812). Yang mengiklankan nama-nama ini diduga besar lengan berkuasa ialah ayah dari masing-masing anak yang gres lahir tersebut, yang kebetulan sama-sama dari keluarga Laurens.

Pendaftaran Nama Keluarga

Paling tidak semenjak 1812 di Depok sudah diketahui nama Laurens sebagai nama keluarga. Penggunaan nama keluarga di Depok diduga sudah usang dilakukan. Hanya saja, surat kabar gres muncul kali pertama tahun 1810 yakni Bataviasche Koloniale Courant. Dalam semua edisi Bataviasche Koloniale Courant tidak ditemukan hal yang terkait dengan penulisan nama keluarga bagi golongan pribumi. Penulisan nama keluarga gres terdeteksi pada era pendudukan Inggris yang mana surat kabar berbahasa Inggris Java government gazette.

Surat kabar pada era VOC/Belanda tidak ditemukan nama-nama orang pribumi, lantaran itu tidak ada yang sanggup diidentifikasi apakah ada pribumi yang telah memakai nama keluarga.

Bagi pribumi, penggunaan nama keluarga didasarkan pada nama keluarga. Pribumi yang terbilang awal berinteraksi dengan gila (sejak Portugis) ialah penduduk Maluku khususnya di Ambon.

Dalam deskripsi Prancois Valentijn tidak terdeteksi nama-nama pribumi. Dengan demikian penggunaan nama keluarga bagi pribumi juga tidak ditemukan. Demikian juga nama-nama keluarga juga tidak ditemukan di Makassar.

Dalam hal ini, boleh dikatakan, penggunaan nama keluarga bagi pribumi gres ditemukan di Depok. Paling tidak penggunaan nama keluarga sudah terdeteksi pada tahun 1812.

Sejak penggunaan nama keluarga Laurens di Depok, penggunaan nama-nama keluarga yang lain menyusul kemudian ibarat nama keluarga Jonathans (1869). Leander (1878), Loen (1894), Bacas (1897), Isakh (1915), Samuel (1916), Tholense (1920), Jacob (1921), Soedira (1926) dan Joseph (1937). Dari 12 nama keluarga yang disebut di Depok, nama keluarga Zadok tidak pernah ditemukan.

Pada tahun 1889 muncul di Jogjakarta seorang pribumi mendaftarkan namanya menjadi nama keluarga (Nederlandsche staatscourant, 23-08-1889). Nama pribumi tersebut ialah Kassian yang dalam sehari-hari menyebut dirinya sebagai Chepas. Dalam hal Kassian seorang fotografer namanya kerap ditulis dengan nama Kassian Chepas. Kemudian diketahui Kassian Chepas mengajukan namanya di Djokjokarta pada tanggal 14 Juni 1888 yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal untuk dirinya dan putranya Sem dan Tarif biar disahkan mempunyai nama keluarga Cephas. Permintaan ini kemudian dikabulkan (lihat Nederlandsche staatscourant,    31-12-1889).

Pemerintah semenjak 1883 mengakomodir bagi pribumi untuk mendaftarkan nama untuk dijadikan menjadi nama keluarga dalam bentuk peraturan perundang-undangan yakni dikeluarkannya Ordonansi 30 Juli 1883 (Indisch Staatsblad No. 192). Pada Pasal 3 disebutkan bahwa....

Sementara itu penggunaan nama keluarga di Tapanoeli gres terdeteksi pada tahun 1892. Penggunaan nama ini muncul kali pertama di lingkungan misionaris.

Pada tahun 1927 diberitakan bahwa seseorang berjulukan Soetan Sjahboedin telah mendaftarkan nama ayahnya menjadi nama keluarga (Bataviaasch nieuwsblad, 16-12-1927). Selama ini yang bersangkutan menulis namanya dengan nama Soetan Sjahboedin Proehoeman yang mana Prohoeman ialah nama ayahnya. Berdasarkan keputusan pemerintah, kepada Soetan Sjahboedin Proehoeman diberikan nama keluarga Prohoeman, keluarganya dan keturunan lainnya yang dilisensikan dengan nama keluarga. Untuk mendapatkan Proehoeman dan selanjutnya menyebutkan dan ditulis Proehoeman.

Pendaftaran nama keluarga semakin kerap diberitakan. Tidak hanya pribumi tetapi juga Tionghoa, ibarat yang diputuskan pemerintah kepada Benjamin Oscar Oei melisensikan nama keluarganya Oei untuk mengganti dengan nama Moniaga dan selanjutnya dipanggil dan menulis Benjamin Oscar Moniaga. Dalam hal ini nama keluarga usang diganti dengan nama keluarga yang baru.

Nama-Nama Keluarga Masa Ini

Penggunaan nama keluarga di belakang nama pada masa ini sanggup dikatakan sebagai suatu yang lazim dan seakan menjadi standar internasional. Di Indonesia pada masa ini, penggunaan nama keluarga tidak mempunyai aturan yang baku sebagaimana di era kolonial Belanda. Setiap orang atau setiap keluarga bebas memakai nama keluarga apa yang sesuai dengan yang diinginkan tanpa harus mengajukannya ke pemerintah. Namun penggunaan nama keluarga yang gres sepertinya lebih pada untuk memperlihatkan latar belakang keluarga dengan memakai nama ayah atau nama kakek.

Untuk sekadar memperlihatkan yang gampang dilihat ialah bawah umur Presiden RI Soekarno, yang mana anak-anaknya disebut sebagai Megawati Sukarnoputri (untuk perempuan) dan Guntur Sukarnoputra (untuk laki-laki). Demikian juga putri Wapres Mohamad Hatta dipakai anaknya menjadi nama belakang sebagai Meutia Hatta. Tentu saja nama Tommy Suharto sanggup dihubungkan dengan nama ayahnya Suharto (Presiden). 

Saya sendiri tidak pernah menambahkan nama keluarga (marga) di belakang nama, lantaran semenjak kecil nama Akhir Matua Harahap sudah tertulis di izajah sekolah dasar (SD) dan surat kenal lahair (pengganti sertifikat kelahiran). Ini berbeda dengan sobat saya, di sertifikat kelahiran tidak tertulis nama marga, tetapi nama keluarga digunakannya di belakang nama apakah pada KTP atau surat-surat indentitas lainnya.

Intinya nama marga ialah satu hal, nama marga dijadikan sebagai nama keluarga ialah hal lain yang dengan kata lain penggunaan nama keluarga ialah hal lain, sedangkan pembentukan nama keluarga ialah hal lain lagi.

Jika kita kembali kepada 12 nama keluarga di Depok, bahwa ke-12 nama keluarga tersebut bukanlah nama marga (clan), tetapi lebih sempurna sebagai nama keluarga (family group), suatu nama keluarga yang dipakai turunannya sebagai identitas nama keluarga yang kemudian dipakai sebagai nama belakang. Oleh lantaran ke-12 nama keluarga tidak pernah diketahui didaftarkan kepada pemerintah (pada era kolonial Belanda), tetapi ke-12 nama keluarga itu dipakai sebagai nama belakang, maka ke-12 nama keluarga itu diduga sudah semenjak usang eksis di dalam keluarga (lingkungan di Depok). Namun bagaimana awal mula pengelompokkan ke-12 nama keluarga tersebut tidak diketahui secara jelas.Namun sanggup diduga kapan nama keluarga di Depok ada, sudah niscaya semenjak era Cornelis Chastelein (meninggal tahun 1714).

Marga di Tanah Batak

Dua belas nama keluarga di Depok bukanlah 12 marga dalam pengertian marga di Tanah Batak. Marga di Tanah Batak ialah suatu kelompok keluarga genealogis yang disebut clan, suatu kelompok keluarga yang sudah usang eksis dan secara turun temurun mengikuti garis keturunan ayah. Sedangkan 12 kelompok keluarga di Depok ialah suatu komunitas penduduk (yang konon dikatakan eks pekerja Cornelis Chastelein) yang kemudian dikelompokkan menjadi 12 kelompok. Tidak disebutkan apa yang menjadi dasar pembagian kelompok dan pembagian kelompok bertujuan untuk apa. Jika rujukannya kelompok marga di Tanah Batak, pembagian kelompok keluarga di Depok sangat rancu (sangat longgar).

Jika dahulunya dari 12 kelompok keluarga terdapat Zadok dan kemudian (meng)hilang besar dugaan bukan lantaran punah tetapi. Mungkin sanggup diandaikan bahwa semua keluarga (tanpa terkecuali) dari kelompok keluarga Zadok berada dalam satu kapal kemudian kapalnya tenggelam dan tidak seorangpun (laki-laki) yang selamat. Iu sanggup dikatakan punah. Tetapi perandaian ini probabilitasnya sangat kecil. Satu kemungkinan yang besar ialah kelompok keluarga Zadok telah menghilang atau dihilangkan yang boleh jadi lantaran menghilangkan diri atau dikeluarkan dari 12 kelompok keluarga lantaran alasan contohnya melaksanakan tindakan yang berbeda dan tidak sejalan dengan kelompok-kelompok lainnya, ibarat beralih agama. Di Tanah Batak, perbedaan agama tidak menghilangkan pemilik marga lantaran marga bersifat genealogis. Sedangkan di Depok sanggup hilang atau menghulang lantaran bukan bersifat genalogis tetapi pengelompokkannya lebih pada sifat sosiologis atau teritorial.

Kelompok keluarga di Depok lebih sempurna sanggup disebut sebagai pendaftaran nama keluarga atau suatu pembentukan nama keluarga yang dimaksudkan untuk identifikasi, dibedakan dengan kelompok keluarga lainnya dan kepada masing-masing kelompok sanggup menurunkan nama keluarga kepada anak dan turunannya. Bahwa mereka yang satu kelompok keluarga tidak boleh satu sama lain kawin tidak ada jaminannya, ibarat kelompok keluarga di dalam tradisi orang Eropa. Sementara kelompok marga di Tanah Batak tidak boleh kawin sesama lantaran dijaga atau diawasi oleh kelompok-kelompok marga lainnya secara budbahasa di dalam sistem dalihan na tolu.

Peta wilayah marga di Afdeeling Padang Sidempoean (1886)
Pengawasan kemurnian marga di dalam sistem dalihan na tolu lantaran dihubungkan dengan perkawinan dengan kelompok keluarga dari marga lainnya. Yang mempunyai kepentingan dalam menguji kemurnian marga tidak hanya pemilik marga tetapi marga-marga lain. Azas pelarangan kawin semarga ialah acuannya. Kawin semarga dianggap pelanggaran (incest taboo). Dalam kekerabatan perkawinan diantara dua keluarga tentu bukan incest dalam pengertian kini yang menjadi alasan. Tentu saja penduduk Batak tidak mengetahui arti hereditas di jaman dulu. Incest dalam hal ini lebih pada kerusakan sistem sosial. Di dalam horja (kegiatan besar), marga yang mempunyai hajatan semua orang semarga duduk sebagai tuan rumah orang semarga (kahanggi). Kahanggi ialah investor (pemilik saham) dalam kegiatan horja tersebut. Dalam posisi marga kahanggi ini, keluarga-keluarga pemberi boru diposisikan sebagai mora (yang sangat dihirmati) sedangkan keluarga-keluarga pengambil boru diposisikan sebagai anakboru. Yang bekerja (sebagai pekerja) dalam hajatan itu ialah pihak anak boru, sedangkan pihak mora sebagai tamu utama yang suaranya harus didengar. Dalam posisi garis lurus: Moora di depan kahanggi dan anakboru di belakang kahanggi. Posisi dalam garis lurus ini akan berubah sendiri keluarga siapa yang akan mendirikan (melaksanakan) horja. Dalam hubungannya dengan identitas marga dan kekerabatan perkawinan, pengujian marga (kemurnian marga) ini diperiksa apakah seseorang diposisikan sebagai kahanggi, mora atau anak boru. Disnilah letak arti perting marga bagi seseorang. Dalihan na tolu sendiri dalam hal ini sanggup dikatakan sebagai suatu sistem sosial dan menjadi inti kebudayaan (core culture) penduduk Batak. Dengan demikian, eksistensi marga yang dimiliki seseorang atau yang diadopsinya selalu diuji (kemurniannya) di dalam horja.  

Dalam sistem sosial di Tanah Batak, kelompok marga yang diatur secara genealogis diturunkan kepada turunannya sangat ketat. Seseorang menjadi cuilan dari marga, selain lahir secara alamiah, setiap yang ditambahkan (diadopsi) dan dikurangi (dibuang dan dihapus lantaran kawin semarga, menjadi budak dan lainnya) diatur oleh aturan budbahasa dan prosesnya melalui sidang adat.

Pernikahan dalam satu marga (di Tanah Batak) tidak boleh (lihat Willer. 1846. Verzamileng Mandheling en Pertibie). Willer menyebut incest antara iboto (kakak dan adik) ini akan menjadi keduanya dieksekusi dengan sanksi mati, dan dalam derajat lebih lebih rendah dikenakan denda dan pembuangan (ke luar wilayah adat). Persitiwa bencana kawin semarga pernah terjadi di Afdeeling Padang Sidempoean yang kemudian dilakukan (sidang) peradilan budbahasa pada hari Ahad tanggal 12 November 1922 (lihat Nota Omtrent de Inlandsche Rechts Gemeenschappen in het Gewest Tapanoeli, 1930).

Joustra menyebutkan bahwa kekerabatan secual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dari marga yang sama dianggap incest. Anggota marga dari generasi yang sama menganggap satu sama lain sebagai saudara dan saudari. Namun marga orisinil yang populasinya besar ada yang membagi menjadi beberapa submarga yang lebih kecil dan tetap menjaga adanya persatuan. Oleh lantaran itu di banyak tempat hal serupa ini cenderung menyampaikan larangan janji nikah tidak melanggar prinsip marga yang semula (marga awal), tetapi tetap menjaga biar kelompok-kelompok tidak terlalu berdekatan (lihat M. Joustra. Batak Spigel. SC van Doesburgh. Lead, 1926).

Dalam perkembangan lebih lanjut, saat terjadi kekerabatan perkawinan yang lebih luas, seseorang harus mengadopsi sebuah marga (yang berbeda dengan marga calon suami atau calon istri) dalam satu upacara adat. Sebaliknya dari sudut pandang pemilik marga, orang yang telah diadopsi menjadi satu marga sanggup menurunkan marga. Dalam konteks kini disebut upacara proteksi marga.

Dalam kekerabatan sosial, setiap orang yang bertemu dengan orang yang gres selalu saling menanyakan marga. Ini dimaksudkan untuk mengetahui posisi masing-masing apakah diantara mereka berdua siapa yang menjadi pihak mora dan siapa yang menjadi pihak anak boru. Untuk yang berlainan jenis kelamin, saling bertanya marga tentu sangat penting untuk memilih apakah mereka semarga (ito) atau bukan. Dengan kata lain, dua pihak yang berlainan jenis kelamin tersebut menjadi saling memposisikan diri apakah ito (dongan samarga yang tidak boleh kawin semarga) atau boru tulang (gadis yang sanggup dilamar si lelaki). Saling memperkenalkan marga ini tidak main-main. Bagi dua laki-laki, akan terkoreksi dengan sendirinya saat mereka lebih jauh membuka stambuk masing-masing; dan bagi pasangan laki-laki dan perempuan akan terkoreksi pada upacara perkawinan (mengikuti prinsip dalihan na tolu).

Namun yang tetap menjadi misteri (sulit dijelaskan), semenjak kapan adanya marga di Tanah Batak? Adanya marga diduga seumur dengan adanya larangan perkawinan di dalam satu garis keturunan. Di Tanah Batak, garis keturunan (marga) mengikuti garis keturunan genealogis ayah. Oleh lantaran garis keturunan genealogis ayah yang dipakai di Tanah Batak dan bukan garis keturunan sosial (karena harta dan jabatan) atau garis keturunan teritorial (berdasarkan konsensus) maka legalisasi (deklarasi) marga haruslah dikaitkan dengan pentingnya larangan kawin semarga. Kesadaran pentingnya larangan kawin semarga diduga manjadi faktor terpenting lahirnya marga. Kesadaran pentingnya larangan kawin semarga diduga bersumber dari imbas luar/asing.

Tentu saja pada zaman kuno di Tanah Batak tidak mengetahui aturan hereditas modern sebagaimana sudah dipahami di Eropa. Namun kesadaran larangan kawin semarga di Tanah Batak haruslah dikaitkan dengan kehadiran orang gila atau hasil interaksi pengetahuan yang diperoleh dari orang asing. Sebagaimana diketahui imbas gila sudah barang tentu sanggup dihubungkan dengan eksistensi Budha/Hindu yang sudah ada semenjak kurun ke-8. Paling tidak ini sanggup dilihat peninggalan candi di Simangambat (abad ke-9) dan percandian di Padang Lawas (abad ke-11). Namun sistem sosial yang umum Budha/Hindu yang diduga berasal dari India kenyataannya tidak berbekas di dalam sistem sosial penduduk Batak yang mengikuti garis genealogis ayah. Konsep dalihan na tolu yang berbasis marga juga tidak ditemukan hubungannya dengan imbas Budha/Hindu di dalam kebudayaan penduduk Batak. Ini suatu indikasi bahwa imbas Budha/Hindu yang boleh jadi memang sistem sosial penduduk Batak sudah eksis sebelum orang-orang Budha/Hindu tiba ke pedalaman Tanah Batak. Sistem sosial penduduk Batak yang merujuk pada sistem sosial inti dalihan na tolu sebagai inti kebudayaan (core culture) bila dikaitkan dengan konsep dalihan na tolu (berbasis marga) yang tidak boleh kawin semarga haruslah dihubungkan dengan imbas gila lainnya. Terbentuknya (konsep) larangan kawin semarga dalam hal ini dan yang paling bersahabat diduga muncul sebagai reaksi terhadap imbas Islam. Dalam Islam dikenal konsep muhrim. Besar dugaan larangan kawin semarga di diduga konsep muhrim (hukum Islam) yang diperluas. Secara historis, penduduk Batak sudah semenjak usang terhubung (berinteraksi) dengan orang asing, apakah Hindu, Budha atau Islam yang berada di pelabuhan kuno terdekat di Barus. Pelabuhan utama di zaman kuno di pantai barat Sumatra terdapat di Barus (wilayah teritori Tanah Batak), suatu pelabuhan yang menjadi muara dari semua komoditi-komoditi kuno yang dihasilkan di Tanah Batak ibarat kamper, kemenyan, damar, emas, gading dan sebagainya. Kehadiran Islam di Barus ialah kehadiran Islam pertama di Nusantara.

Geslachtsnaam dan Marga

Adanya nama keluarga di Depok sanggup dikatakan sebagai suatu pendaftaran nama keluarga (Geslachtsnaam), bukan sebagai nama keluarga dalam pengertian marga di dalam tradisi masyarakat Batak. Marga di Tanah Batak ialah elemen pembentuk sistem sosial di dalam kebudayaan Bataka (core culture). Sedangkan nama keluarga di Depok boleh jadi dimaksudkan untuk identifikasi dalam hubungannya dengan penguasaan resources yang terbatas di Depok di masa lampau. Dengan kata lain pengelompokan komunitas Depok ke dalam kelompok keluarga mempunyai arti penting dalam pewarisan (selanjutnya).

Keterbatasan lainnya dalam hal ini di masa lampau di Depok, bila dan hanya bila dipercaya bahwa komunitas Depok sebagai penganut agama Kristen yang taat, dengan pembentukan kelompok keluarga diperlukan tercapai tertib dalam kekerabatan sosial, utamanya dalam kekerabatan perkawinan. Mungkin incest taboo sudah dipahami di lingkungan komunitas Depok, paling tidak dalam hal ini atas prakarsa (inisiasi) dari Cornelis Chastelein, pembentukan kelompok keluarga sebagai upaya untuk menghindari terjadinya incest.

Alasan-alasan serupa inilah diduga mengapa muncul pembentukan kelopok keluarga di Depok, suatu kesadaran yang untuk membuat aturan sosial gres dalam hubungannya dengan permasalahan kekerabatan antar orang (semisal perkawinan) dan kekerabatan antara orang dengan lahan (semisal hak pewarisan berikutnya). Jika hal ini yang menjadi dasar pengelompokan dan pembentukan kelompok keluarga maka pengelompokkan keluarga tersebut sudah usang adanya, bahkan boleh jadi semasa Cornelis Chastelein masih hidup.

Dalam hal ini pengelompokan keluarga di dalam komunitas Depok (beragama Kristen) haruslah dipandang sebagai satu hal, sedangkan nama-nama kelompok keluarga tersebut menjadi cuilan dalam penulisan nama (belakang) ialah hal lain. Adopsi penggunaan nama keluarga alam Depok dalam penulisan nama di dalam sistem sosial yang lebih luas (seperti pemerintahan) tentu saja gres muncul belakangan, saat orang per orang yang berasal dari komunitas Depok berinteraksi dalam sistem sosial yang lebih luas semiasal dalam kegunaan sistem pendaftaran dan manajemen yang lazim dipakai umum ibarat yang telah usang dilakukan oleh orang Eropa dalam penulisan nama memakai nama keluarga.

Ketika penulisan nama keluarga di belakang nama diadopsi orang pribumi dan dalam prakteknya semakin kerap dilakukan, orang-orang yang berasal dari komunitas Depok tidak perlu mendaftarkan nama keluarga kepada pemerintah, alasannya ialah nama-nama keluarga di komunitas Depok sudah semenjak usang eksis dan diantara komunitas Depok telah diakui secara sosial, ibarat halnya marga di dalam mayarakat Batak. Di dalam masyarakat untuk menguji seseorang apakah benar pemilik marga sanggup dirujuk pada stambuk yang dimiliki oleh setiap keluarga, suatu stambuk yang sanggup diperbandingkan (apakah kompatibel) dengan stambuk yang dimiliki keluarga lain. Marga di dalam tradisi orang Batak tidak hanya sekadar pengakuan, tetapi sanggup dibuktikan di dalam catatan tertulis yang disebut stambuk keluarga.

Demikianlah sistem pencatatan nama: Marga ialah satu hal, nama kelaurga ialah hal ian, dan penggunaan nama keluarga dan marga dalam penulisan nama ialah hal lain lagi.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang dipakai lebih pada ‘sumber primer’ ibarat surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya dipakai sebagai pendukung (pembanding), lantaran saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi lantaran sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber gres yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Sumber http://poestahadepok.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Sejarah Kota Depok (56): Melacak 12 Nama Keluarga (Geslachtsnaam) Di Depok; Awal Mula Pencatatan Dan Penulisan Last Name"

Posting Komentar