Sejarah Yogyakarta (30): 'Jogja Kembali', Dua Kali Ir. Sukarno Kembali Ke Jogjakarta; Pengasingan Parapat, Djakarta Ibukota Ris
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Pada dikala Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Presiden Soekarno dan tokoh Indonesia lainnya ditangkap di Jogjakarta. Para pemimpin militer lebih menentukan mengungsi untuk melaksanakan perang gerilya. Sementara Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin wilayah Jogjakarta ditahan sebagai tahanan rumah di kraton Jogjakarta. Namun dalam perkembangannya, pasca Perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949 para pemimpin Indonesia dan pemimpin militer kembali ke Jogjakarta. Kembalinya mereka inilah yang sering diasosiasikan dengan sebutan Jogja Kembali.
Pada dikala Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 Presiden Soekarno dan tokoh Indonesia lainnya ditangkap di Jogjakarta. Para pemimpin militer lebih menentukan mengungsi untuk melaksanakan perang gerilya. Sementara Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin wilayah Jogjakarta ditahan sebagai tahanan rumah di kraton Jogjakarta. Namun dalam perkembangannya, pasca Perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949 para pemimpin Indonesia dan pemimpin militer kembali ke Jogjakarta. Kembalinya mereka inilah yang sering diasosiasikan dengan sebutan Jogja Kembali.
De vrije pers : ochtendbulletin, 11-07-1949 |
Bagi Ir. Soekarno kembali ke Jogja (Jogja Kembali) tidak hanya sekali, tetapi sebanyak dua kali. Namun selama ini hanya dihitung sekali, padahal faktanya dua kali. Kembalinya Ir. Soekarno ke Jogjakarta untuk yang kedua kali terjadi pada tanggal 12-06-1950. Itu dilakukan sesudah Ir. Soekarno tidak menginginkan Indonesia sebagai negara dalam bentuk RIS dan kembali ke Jogjakarta yang disambut meriah oleh para Republiken. Inspirasi Ir. Soekarno ini muncul sesudah adanya Kongres Rakyat di Sumatra Timur yang sebagian besar penduduk menginginkan Indonesia kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagaimana itu terjadi? Mari kita lihat faktanya.
Perjanjian Roem-Royen
Ada dua poin penting di seputar proses penjanjian Roem-Royen yakni kembalinya Republik ke Jogjakarta dan upaya menemukan kontak dengan Letnan Jenderal Soedirman dan Kolonel TB Simatupang. Secara khusus TB Simatupang sangat dibutuhkan segera alasannya TB Simatupang berpengalaman dalam implementasi pasca perjanjian Renville tahun 1947. Namun dimana posisi gerilya TB Simatupang dan Soedirman sulit diketahui. Akan tetapi secara umum berdasarkan laporan tidak resmi Soedirman bergerilya di wilayah selatan Jongjakarta sementara TB Simatupang diduga berada di wilayah utara Jogjakarta.
De vrije pers : ochtendbulletin, 24-05-1949: ‘Menurut surat kabara Keng Po, Ir. Djuanda, ketua kelompok kerja urusan keuangan dan ekonomi Komite Kembali ke Djokjakarta, menyatakan bahwa secara garis besar untuk kembalinya Pemerintah Republik [Indonesia] kini hampir siap. Mengenai kasus keuangan dan moneter dikatakan, beliau sudah mencapai kesepakatan dengan Belanda. Djuanda menetapkan tanggal kembalinya pemerintah Republik pada 3 sampai 5 Juni...(sementara itu) orang-orang bulat Belanda: dalam konsultasi dengan UNCI sedang mempertimbangkan barang-barang yang harus dikirim ke Djokjakarta untuk memulai kehidupan ekonomi disana. Ini mungkin termasuk 5.000 buah sepeda dan 500 truk dan kendaraan beroda empat serta radio, peralatan listrik, mesin, komponen kereta api dan barang-barang lainnya. Bandara Magoewo akan berada di bawah kendali UNCL, sebuah pesawat republik akan tiba dari Aceh ke Djokjakarta, dan republik mempunyai satu pesawat tersisa yaitu RI-002, enam pesawat yang sebelumnya dimiliki dibeli’.
Algemeen Handelsblad, 21-06-1949: ‘Persiapan untuk pemulihan Djokja. Soeltan Djokjakarta telah menyatakan kepada Aneta bahwa Pemerintahan Daerah Djokjakarta akan bersifat semi-militer sesudah pemindahan resmi. Staf sipil dan militer akan ditambahkan ke Soltan.. beberapa hal kesepakatan telah dicapai dengan Kolonel Van Langen..Laporan yang diterima di Batavia dari Djokja melaporkan bahwa pegawai pemerintah RI disana hampir siap dengan persiapan untuk pemindahan... Mohamad Roem kepada pers mengharapkan pada tamat minggu wacana kembali ke Djokja’.
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-06-1949: ‘Mohamad Roem kembali ke Batavia. Pemmpin Republik Indonesia mendapatkan komitmen mengikat untuk konferensi [KMB] di Den Haag. Ketua delegasi Republik Indonesia Mohamad Roem menyatakan sesudah kepulangannya dari Bangka bahwa selama konferensi dengan Mohamad Hatta dan Soekarno, rencana pengembalian para Republikan ke Djokjakarta diselesaikan. Dia menyampaikan bahwa kini ada kemungkinan lolos dari kebuntuan antara Belanda dan Republik Indonesia atas pasukan gerilya untuk berhenti menembak. Mohamad Roem mengumumkan bahwa penarikan pasukan pendudukan Belanda [di Jogjakarta] mungkin akan memakan waktu tujuh hari lagi. Setelah itu, Soeltan Djokjakarta akan mengambil alih pemerintahan dan mempersiapkan kembalinya para Republiken yang dikala ini tinggal di Bangka’.
Saat-saat inilah Soeltan Hemengkoeboewono yang keduanya teman baiknya sulit untuk menemukan kontak. Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin tempat Jogjakarta tempat dimana Republik kembali memerlukan keduanya.
Natsir, Soeltan, Simatupang (Nieuwe courant, 06-07-1949) |
Akhirnya Kolonel TB Simatupang tiba di Jogjakarta. Soeltan Hamengkoeboewono lega. Kolonel TB Simatupang yakni Republiken pertama yang kembali ke Jogjakarta. Beberapa hari kemudian militer Belanda melaksanakan penyelamatan dari Jogjakarta.
Pemerintah Belanda sempat meminta gencatan senjata dan jaminan kepada Kolonel TB Simatupang dikala mereka evakuasi. Namun militer Belanda tak menyangka mendapatkan tanggapan yang mengejutkan. Simatupang menjawab diplomatis: ‘Akan sulit untuk mengakhiri gerilya dan meminta jaminan’ (lihat Algemeen Handelsblad, 04-07-1949). Boleh jadi Soeltan Hamengkoeboewono yang mendengar seruan itu tersenyum. Tentu saja Soeltan lega sesudah militer Belanda penyelamatan dari Jogjakarta. Sejak serangan ke Jogjakarta 19 Desember 1948 Soeltan Hamengkoeboewono yang diawasi sebagai tahanan rumah kini 100 persen bebas. Sementara Simatupang memberi tanggapan menyerupai boleh jadi diartikan ‘pergi kalian ke Belanda dan jangan kembali kesini’.
Dalam proses penyelamatan tersebut terjadi dua tembakan ringan. Tembakan itu tiba dari arah belakang pasukan terakhir yang evakuasi. Boleh jadi tembakan Tentara Nasional Indonesia itu memperlihatkan pelampiasan kekesalan terhadap militer Belanda atau boleh jadi tembakan itu menggambarkan kegembiraan di antara anggota Tentara Nasional Indonesia yang sepenuhnya telah menguasai (kembali) Jogjakarta. Hanya itulah yang dilaporkan insiden satu-satunya di Jogjakarta dikala berlangsungnya penyelamatan militer Belanda.
Beberapa offcier (sipil) Belanda masih berada di Jogjakarta sesudah penyelamatan militer. Mereka ini menjadi semacam penghubung. Sebab dikala yang bersamaan di Batavia/Djakarta juga terdapat perwakilan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap. Perwakilan Republik Indonesia (semacam atase atau kedubes) sudah ada semenjak rombongan terakhir hijrah dari Djakarta ke Jogjakarta pada bulan Maret 1946. Kepala perwakilan RI di Djakarta/Batavia tersebut tetap dijabat Mr. Arifin Harahap. Para offcier Belanda dan UNCL di Jogjakarta ini bersama dengan Soeltan Hamengkoeboewono dan Kolonel TB Simatupang yang mempersiapkan kedatangan para pemimpin RI baik yang di pengasingan menyerupai Soekarno dan Mohamad Hatta maupun di pengungsian menyerupai Sjafroeddin Prawiranegara di hutan-hutan Bukittinggi. Tentu saja untuk menemukan kontak dan mempersiapkan kedatangan Letnan Jenderal Soedirman yang belum diketahui dimana posisi gerilyanya.
Soekarno dan Mohamad Hatta dan tokoh lainnya dijadwalkan akan kembali ke Jogjakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Namun duduk kasus lain muncul alasannya Mr. Sjafroeddin Prawiranegara pimpinan Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi belum ada kontak. Untuk itu dikirim delegasi RI ke Bukittinggi yang terdiri dari Leimena, Natsir dan Halim pada tanggal 4 Juli 1949 dengan memakai pesawat KLM.ke Padang yang selanjutnya melaksanakan perjalanan ke Bukittinggi dimana delegasi ini akan menunggu kontak dengan Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya. Upaya ini dilakukan alasannya sebelumnya Mohamad Hatta sudah dua kali gagal kontak dengan Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya yang bergerilya di sekitar Bukittinggi.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-06-1949: ‘Belanda dan Mohamad Hatta telah melaksanakan segala upaya untuk membangun kontak sesegera mungkin dengan TNI. Kolonel Simatupang dari Tentara Nasional Indonesia yang pertama dipanggil, tetapi Simatupang menolak. Jenderal Sudirman kemudian berulang kali diundang, tetapi ia [Soedirman] juga menolak. Pemimpin tertinggi yakni Sjafroeddin dan beliau [Soedirman] hanya mengharapkan perintah atau keputusan lebih lanjut darinya [Sjafroeddin Prawiranegara]. Oleh alasannya itu Mohamad Hatta melaksanakan perjalanan ke Sumatra, tetapi misi ini, menyerupai yang diketahui, tidak menawarkan hasil yang diharapkan. Menurut surat kabar Republiken [di Medan] Waspada, Sjafroeddin akan menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan mandat pemerintahan daruratnya kepada Mohamad Hatta, tetapi ia [untuk sementara] tidak sanggup menghubungi anggota kabinet lainnya. Informasi lain memperlihatkan bahwa sisa Kabinet Darurat tidak tertarik padanya [Mohamad Hatta]. Akhirnya, Mohamad Hatta kembali melaksanakan upaya kedua untuk bertemu dengan Pemerintah Darurat, dirinya mengakui sulit alasannya mereka bergerilya, dan upaya ini juga gagal. Itulah yang terjadi dikala ini. Jika Djokjakarta kini memang menawarkan ‘perintah gencatan senjata’ yang terang dan definitif, kami [Belanda] akan segera mengetahui sejauh mana Pemerintah Darurat menjadi pemerintah kontra, dan sejauh mana Djokja masih mempunyai wewenang’.
Untuk menjaga keamanan dan ketertiban di dalam kota Jogjakarta telah ditempatkan di tangan Tentara Nasional Indonesia di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto dengan pertolongan polisi di bawah Soemarto. Diharapkan dalam waktu dua minggu Tentara Nasional Indonesia sanggup digantikan sepenuhnya di tangan otoritas sipil. Soemarto menyatakan bahwa Brigade Mobil siap untuk memulai pekerjaannya. Brigade Mobil akan mendapatkan peralatan gres yang dibeli Republik melalui UNCL. Kekuatan Brigade Mobil dikala ini sekitar 1.000 orang. Sebelumnya berada di bawah komando Zen Mohamad (lihat Nieuwe courant, 06-07-1949). Seperti yang dijadwalkan (Presiden) Soekarno tiba ranggal 6 Juli 1949 di Jogjakarta. Soekarno dan Mohamad Hatta serta tokoh lainnya disambut oleh Kolonel TB Simatupang serta sejumlah tokoh Indonesia di bandara dan kemudian rombongan menuju Jogjakarta.
Nieuwe Apeldoornsche courant, 07-07-1949: ‘Presiden Soekarno tiba di bandara Djocjakarta pada hari Rabu (6/7) pukul 1 siang, dimana ia diterima oleh Soeltan Djogjakarta dan Pakoe Alam. Setelah upacara penyambutan, bendera Republik dikibarkan di Istana Presiden (istana yang ditempati Soekarno sebelum diasingkan ke Brastagi dan Parapat).
Kembalinya (Pemerintah) RI ke Jogjakarta yakni suatu pengembalian pemerintah yang unik di dunia internasional. Ini untuk kali pertama pengembalian pemerintah tanpa kehadiran pasukan bersenjata hanya difasilitasi oleh pejabat-pejabat sipil UNCL.
Di Jogjakarta terdapat sebanyak 2.000 orang yang bekerjasama dengan kraton ditambah 1 600 prajurit Tentara Nasional Indonesia dan polisi lainnya untuk pemeliharaan aturan dan ketertiban. Unit-unit ini berada di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel Soeharto. Sehubungan dengan kembalinya Pemerintah RI ke Jogjakarta untuk sementara pers Belanda tidak diizinkan ke Jogjakarta.
Beberapa hari kemudian Sjafroeddin Prawiranegara pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra tiba di Jogjakarta. Sjafroeddin Prawiranegara tiba dari Padang di Djakarta hari Sabtu dan esoknya Minggi tanggal 10 Juli 1949 ke Jogajkarta. Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tiba pukul sebelas kurang seperempat di bandara Magoewo, dimana ia disambut oleh Mohamd Hatta, Soeltan Djokjakarta, Mohamad Roem dan tokoh lainnya. Sjafroeddin Prawiranegara diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Presiden di Jogjakarta.
Nieuwe courant, 11-07-1949: ‘Sjafroeddin Prawiranegara pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra, tiba di Batavia pada Sabtu sore didampingi Lukman Hakim dan melaksanakan perjalanan ke Djokja pada Minggu pagi, dimana--menurut kedatangannya di Kemajoran--ia menyatakan kepada pers hadir untuk Presiden Soekarno akan mengembalikan mandatnya sebagai pemerintah darurat. Sjafruddin, terbang dengan pesawat KLM yang disediakan UNCL yang didampingi oleh Mr Leimena, Mr Natsir dan Halim.,,delegasi bertemu Sjafroeddin di Suliki sekitar 20 km terletak di utara Bukittinggi..Sejumlah anggota KNIP Minggu pagi juga berangkat dengan rombongan Sfafroeddin Prawiranegara ke Djokjakarta...Sjafroeddin diterima oleh Presiden Soekarno pada hari Minggu. Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik [Indonesia] tiba pukul sebelas kurang seperempat waktu setempat di bandara Magoewo, dimana ia diterima oleh Mohamd Hatta, Soeltan Djokjakarta, Mohamad Roem, Assaat, Tadjoeddin Noor, Ki Hadjar Dewantoro dan otoritas lainnya’.
Pada sore hari Minggu itu juga Letnan Jenderal Soedirman tiba di Jogjakarta. Soedirman dijemput Kolonel TB Simatupang di perbatasan Jogjakarta dan kemudian diterima oleh Sjafroeddin Prawiranegara.
De vrije pers : ochtendbulletin, 11-07-1949: ‘Letnan Jenderal Soedirman pada hari Minggu sore tiba di Djokjakarta. Soedirman disambut Soehardja, Kolonel Simatoepang dengan beberapa staf Tentara Nasional Indonesia lainnya di perbatasan Djokjakarta. Lalu kemudian dibawa ke Djokjakarta dengan upacara yang dihadiri Sjafroeddin Prawiranegoro, Mohamad Roem, Mr. Dr. Koesoemoatmadja presiden pengadilan militer, Mr. Assaat Ketua KNIP, Pakoe Alam, Ki Hadjardewantoro, Wakil Konsul Jenderal China Shun Tjun dan otoritas militer dan sipil lainnya’
Mungkin para pembaca sedikit gundah mengapa hanya Kolonel TB Simatupang dan Sjafroeddin Prawiranegara yang menyambut Letnan Jenderal Soedirman. Ada apa dengang Soekarno dan Mohamad Hatta? Ini sanggup dijelaskan alasannya pimpinan Letnan Jenderal Soedirman yakni Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi. Ini bermula ketika Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta ditangkap, diinternir dan diasingkan, di Bukittinggi Sjafroeddin Prawiranegara muncul memimpin pemerintahan darurat. Pada waktu yang relatif bersamaan dikala mana Jenderal Soedirman bergerilya menjauh dari Jogjakarta juga ditangkap di Poerworedjo dalam keadaan sakit. Kemudian sebagai Komandan Tentara Nasional Indonesia di Sumatra Kolonel Hidayat sebagai panglima .
Setelah sedkit sembuh, Jenderal Soedirman menghilang dan kembali ke pasukannya untuk bergerilya di wilayah selatan Jogjakarta. Setelah Jenderal Sodirman kembali ke pasukan dan memimpin kemudian mengambil perilaku berada di belakang Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang dipimpin Sjafroeddin Prawiranegara di Bukittinggi. Sementara itu Komandan Tentara Nasional Indonesia berada di bawah Kolonel Hidayat. Oleh alasannya itulah pers Belanda menulis pangkat Soedirman sebagai Letnan Jenderal (yang dalam hal ini Kolonel Hidayat diposisikan sebagai Jenderal). Ketika pengembalian Republik ke Jogjakarta, dikala kedatangan Letnan Jenderal Soedirman di Jogjakarta (tentu saja) disambut oleh Sjafroeddin Prawiranegara. Saat penyambutan ini posisi Sjafroeddin Prawiranegara masih pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (belum dilakukan penyerahan kepada Presiden Soekarno).
Yang mungkin juga sedikit membingungkan bagi pembaca mengapa Soeltan Hemengkoeboewono tidak turut menyambut kedatangan Letnan Jenderal Soedirman? Apakah cukup diwakili oleh Pakoe Alam? Untuk ini sangat sulit mencari jawabannya. Apakah ada pembaca yang sanggup menjelaskan? Lantas mengapa Soeltan Hemengkoeboewono menyambut kedatangan Kolonel TB Simatupang? Hal ini sanggup dijelaskan alasannya Kolonel TB Simatupang yang pertama Republiken yang kembali ke Jogjakarta.
0 Response to "Sejarah Yogyakarta (30): 'Jogja Kembali', Dua Kali Ir. Sukarno Kembali Ke Jogjakarta; Pengasingan Parapat, Djakarta Ibukota Ris"
Posting Komentar