Rukun Perceraian

Rukun ialah bab yang harus terpenuhi yang batal jikalau tidak terpenuhi. Sedangkan syarat ialah sesuatu yang menjadi daerah bergantung wujudnya hukum. Tidak ada syarat berarti niscaya tidak
adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak niscaya wujudnya hukum.

Ada beberapa unsur perceraian yang berperan di dalam rukun, dan masing-masing rukun itu terdapat beberapa persyaratan. Dan diantara persyaratan itu ada yang disepakati oleh para ulama dan
sebagiannya menjadi perdebatan dikalangan ulama. Adapun rukun dalam cerai ialah sebagai berikut:
a. Suami
Suami ialah orang yang mempunyai hak untuk menceraikan istrinya, selain suami tidak berhak menceraikan istrinya. Artinya, apabila ada seseorang pria yang menjayuhkan cerai kepada selain istrinya, maka cerai tersebut tidak jatuh.
b. Istri
Istri yang di ceraikan suaminya yaitu istri yang secara aturan masih terikat perkawinan dengannya. Meskipun wanita itu telah dicerai suaminya, namun masih berada dalam masa iddahnya. Adapun syarat sahnya istri yang diceraikan sebagai berikut:
a) Istri masih tetap berada dalam pertolongan kekuasaan suami.
b) Kedudukan istri yang dicerai itu harus menurut atas kesepakatan perkawinan yang sah.
c. Lafadz atau Ucapan Cerai Ucapan suami disampaikan terhadap istrinya yang menawarkan arti cerai, baik itu berupa sarih (jelas) atau lafadz yang lain yang semakna dengan itu atau terjemahannya sama-sama diketahui sebagai ucapan yang tetapkan relasi pernikahan, dan juga ucapan cerai itu tidak pribadi terus terang atau disebut kinayah (sindiran), maka dari itu diharapkan niat dari seorang suami yang melafadzkannya.

Adapun syarat dalam sighat cerai yaitu sebagai berikut:
a) Lafadz yang menawarkan arti melepaskan suatu ikatan pernikahan, baik secara sharih atau kinayah.

Para ulama beropini bahwa perceraian terjadi bila suami yang menceraikan istrinya mengucapkan
lafadz tertentu yang menyatakan bahwa istrinya itu telah lepas dari wilayahnya, maka jatuhlah cerai tersebut. Oleh alasannya itu, kalau suami hanya sekadar berkeinginan atau meniatkan tetapi belum
mengucapkan apa-apa, maka belum jatuh cerai.

Kemudian al-Zuhriy berbeda pendapat dengan para ulama yang diatas, bahwasannya meskipun tidak diucapkannya, tetapi ia telah berniat untuk menceraikan istrinya, maka jatuhlah cerai.

b) Al-Qashdu (Sengaja) Ialah ucapan kata cerai memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya
untuk bercerai, bukan untuk maksud lain. Cerai harus memenuhi rukun dan syarat tertentu, baik
yang berafiliasi dengan suami yang menceraikan dan istri yang diceraikan. Oleh alasannya itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk cerai dipandang tidak jatuh cerai.


Sumber http://makalahahli.blogspot.com

Berlangganan Informasi Terbaru:

0 Response to "Rukun Perceraian"

Posting Komentar