Fenomena Transgender Dan Aturan Operasi Kelamin
dakwatuna.com – Belakangan ini semakin banyak fenomena waria yang berkeliaran di jalanan untuk mengamen khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka yang menodai atribut muslimah dengan menggunakan kerudung segala. Selain itu ironisnya, di media pertelevisian kita tampaknya justru ikut menyemarakkan dan mensosialisasikan sikap kebancian tersebut di banyak sekali jadwal aktivitas talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil menawarkan legitimasi dan figur yang sanggup ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual. Bagaimanakah bekerjsama Islam memandang masalah transgender tersebut dan bagaimanakah aturan operasi kelamin serta mengubah-ubah jenis kelamin serta tugas dokter dan para medis dalam hal ini. Apa konsekuensi aturan dari pengubahan alat kalamin tersebut contohnya menyangkut pembagian warisan, ibadah dan interaksi sosial.
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai tanda-tanda transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu tanda-tanda ketidakpuasan seseorang lantaran merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya sanggup dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan hingga kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe mencakup transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.
Tanda-tanda transseksual yang sanggup dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap sanggup berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya dikala dating stress; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan sanggup ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu berdasarkan J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan tanda-tanda pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laris negativisme.
Transeksual sanggup diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laris perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, stress berat pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual lantaran keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin sanggup dilakukan. Mereka yang bekerjsama normal lantaran tidak mempunyai kelainan genetikal maupun hormonal dan mempunyai kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu ialah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan berdasarkan syariat Islam.
Adapun aturan operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci dilema dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang semenjak lahir mempunyai kelamin normal; (2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang semenjak lahir mempunyai cacat kelamin, mirip zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3) Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang semenjak lahir mempunyai dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina)
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan tepat organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melaksanakan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan ajaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 perihal Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut ajaran MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan aturan jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan aturan tersebut pada dalil-dalil yaitu: (1) firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang berdasarkan kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality (keadilan) bagi segenap insan di hadapan Allah dan aturan yang masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai kodratnya; (2) firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’ ayat 119. Menurut kitab-kitab tafsir mirip Tafsir Ath-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubat al-Tafsir (hal.123) dan al-Qurthubi (III/1963) disebutkan beberapa perbuatan insan yang diharamkan lantaran termasuk “mengubah ciptaan Tuhan” sebagaimana dimaksud ayat di atas yaitu mirip mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur dan sanggul, menciptakan tato, mengerok bulu alis dan takhannus (seorang laki-laki berpakaian dan bertingkah laris mirip perempuan layaknya waria dan sebaliknya); (3) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk para tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan alis, dan orang-orang yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari); (4) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk laki-laki yang mirip perempuan dan perempuan yang mirip laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh lantaran itu kasus ini bekerjsama berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Allah melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin berdasarkan para ulama diperbolehkan secara aturan syariat. Jika kelamin seseorang tidak mempunyai lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal lantaran kelainan mirip ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.
Para ulama mirip Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan (1987:131) menawarkan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal sanggup mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga sanggup tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari jalannya sendiri, mirip melacurkan diri menjadi waria atau melaksanakan homoseks dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadits Nabi saw.: “Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual” (HR.al-Bukhari) Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” lantaran kaidah fiqih menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya harus dihilangkan) yang berdasarkan Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan ancaman termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw.: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad)
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melaksanakan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, kalau seseorang mempunyai penis dan vagina, sedangkan pada penggalan dalam badan dan kelaminnya mempunyai rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat lantaran keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan penggalan dalamnya sanggup mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi aturan agama lantaran hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.
Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan) tersebut, berdasarkan Makhluf dan Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh lantaran itu, operasi kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan penggalan dalam alat kelaminnya. Apabila seseorang mempunyai penis dan vagina, sedangkan pada penggalan dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang mempunyai penis dan vagina, sedangkan pada penggalan dalam kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi tepat dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas. Ia dihentikan membuang penisnya semoga mempunyai vagina sebagai wanita, sedangkan di penggalan dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dihentikan lantaran operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi penggalan dalam kelaminnya berarti melaksanakan pelanggaran syariat dengan mengubah ciptaan Allah SWT; dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada fitrah Allah (QS.Ar-Rum:30).
Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi penggalan dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam perihal Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Peranan dokter dan para medis dalam operasi penggantian kelamin ini dalam status hukumnya sesuai dengan kondisi alat kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut berdosa lantaran termasuk bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi kelaminnya ialah sesuai syariat Islam dan bahkan dianjurkan maka ia menerima pahala dan terpuji lantaran termasuk ajuan bekerja sama dalam ketakwaan dan kebajikan.(QS.Al-Maidah:2)
Adapun konsekuensi aturan penggantian kelamin ialah sebagai berikut:
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang perempuan yang melaksanakan operasi penggantian kelamin menjadi laki-laki tidak akan mendapatkan penggalan warisan laki-laki (dua kali penggalan wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan aturan akan menciptakan identitas dan status aturan orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa kalau selama ini penentuan aturan waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka sehabis perbaikan kelamin menjadi laki-laki atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya. Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal Hidayah. []
Sumber http://belajar-coreldraw.blogspot.com
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai tanda-tanda transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu tanda-tanda ketidakpuasan seseorang lantaran merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya sanggup dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan hingga kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe mencakup transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.
Tanda-tanda transseksual yang sanggup dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap sanggup berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya dikala dating stress; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan sanggup ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu berdasarkan J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan tanda-tanda pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laris negativisme.
Transeksual sanggup diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laris perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, stress berat pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual lantaran keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin sanggup dilakukan. Mereka yang bekerjsama normal lantaran tidak mempunyai kelainan genetikal maupun hormonal dan mempunyai kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu ialah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan berdasarkan syariat Islam.
Adapun aturan operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci dilema dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang semenjak lahir mempunyai kelamin normal; (2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang semenjak lahir mempunyai cacat kelamin, mirip zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3) Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang semenjak lahir mempunyai dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina)
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan tepat organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melaksanakan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan ajaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 perihal Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut ajaran MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan aturan jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan aturan tersebut pada dalil-dalil yaitu: (1) firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang berdasarkan kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality (keadilan) bagi segenap insan di hadapan Allah dan aturan yang masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai kodratnya; (2) firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’ ayat 119. Menurut kitab-kitab tafsir mirip Tafsir Ath-Thabari, Al-Shawi, Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubat al-Tafsir (hal.123) dan al-Qurthubi (III/1963) disebutkan beberapa perbuatan insan yang diharamkan lantaran termasuk “mengubah ciptaan Tuhan” sebagaimana dimaksud ayat di atas yaitu mirip mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur dan sanggul, menciptakan tato, mengerok bulu alis dan takhannus (seorang laki-laki berpakaian dan bertingkah laris mirip perempuan layaknya waria dan sebaliknya); (3) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk para tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan alis, dan orang-orang yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari); (4) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk laki-laki yang mirip perempuan dan perempuan yang mirip laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh lantaran itu kasus ini bekerjsama berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Allah melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin berdasarkan para ulama diperbolehkan secara aturan syariat. Jika kelamin seseorang tidak mempunyai lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal lantaran kelainan mirip ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.
Para ulama mirip Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan (1987:131) menawarkan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal sanggup mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga sanggup tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari jalannya sendiri, mirip melacurkan diri menjadi waria atau melaksanakan homoseks dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadits Nabi saw.: “Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual” (HR.al-Bukhari) Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” lantaran kaidah fiqih menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya harus dihilangkan) yang berdasarkan Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan ancaman termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw.: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad)
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melaksanakan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, kalau seseorang mempunyai penis dan vagina, sedangkan pada penggalan dalam badan dan kelaminnya mempunyai rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat lantaran keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan penggalan dalamnya sanggup mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi aturan agama lantaran hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.
Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan) tersebut, berdasarkan Makhluf dan Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk membuang penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya. Oleh lantaran itu, operasi kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan dengan penggalan dalam alat kelaminnya. Apabila seseorang mempunyai penis dan vagina, sedangkan pada penggalan dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang mempunyai penis dan vagina, sedangkan pada penggalan dalam kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi tepat dan identitasnya sebagai laki-laki menjadi jelas. Ia dihentikan membuang penisnya semoga mempunyai vagina sebagai wanita, sedangkan di penggalan dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan ovarium. Hal ini dihentikan lantaran operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi penggalan dalam kelaminnya berarti melaksanakan pelanggaran syariat dengan mengubah ciptaan Allah SWT; dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada perubahan pada fitrah Allah (QS.Ar-Rum:30).
Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi penggalan dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam perihal Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.
Peranan dokter dan para medis dalam operasi penggantian kelamin ini dalam status hukumnya sesuai dengan kondisi alat kelamin yang dioperasinya. Jika haram maka ia ikut berdosa lantaran termasuk bertolong-menolong dalam dosa dan bila yang dioperasi kelaminnya ialah sesuai syariat Islam dan bahkan dianjurkan maka ia menerima pahala dan terpuji lantaran termasuk ajuan bekerja sama dalam ketakwaan dan kebajikan.(QS.Al-Maidah:2)
Adapun konsekuensi aturan penggantian kelamin ialah sebagai berikut:
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang perempuan yang melaksanakan operasi penggantian kelamin menjadi laki-laki tidak akan mendapatkan penggalan warisan laki-laki (dua kali penggalan wanita) demikian juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan aturan akan menciptakan identitas dan status aturan orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa kalau selama ini penentuan aturan waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka sehabis perbaikan kelamin menjadi laki-laki atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya. Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal Hidayah. []
Sumber http://belajar-coreldraw.blogspot.com
0 Response to "Fenomena Transgender Dan Aturan Operasi Kelamin"
Posting Komentar